Minggu, 26 Maret 2017

Tentang Perpisahan

"Aku masih merasakan udara yang sama. Masih berdiam ditempat yang sama. Tapi yang kurasakan tak lagi sama, kesunyiaan ini bernama tanpamu."

Sebenarnya, aku tidak pernah ingin semuanya berakhir. Saat semua terancang dengan hebat dan sempurna, saat perhatian-perhatian kecil itu menjelma menjadi rindu yang menancapkan getar-getar bahagia. Tapi, bukankah prediksi manusia selalu terbatas? Aku tidak bisa terus menahan dan mengubah sesuatu yang mungkin memang harus terjadi. Perpisahan harus terjadi, untuk pertemuan awal yang pasti akan memunculkan perasaan bahagia.

Tidak dipungkiri dan aku tak harus menyangkal diri, bahwa selama rentan waktu tanpamu, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Ketika pagi, kamu menyapaku dengan lembutnya. Saat siang, kamu sekedar mengingatkan untuk tidak terlambat makan. Saat sore, kamu menyapaku lagi, bercerita tentang hari-harimu, lelahmu dan bahagiamu pada hari itu. Saat malam, kamu menjerat pikiranku untuk berfokus pada suaramu yang mengalun lembut melewati lempengan-lempengan dingin handphoneku. Dan aku rindu, rindu semua hal yang bisa kita lalui hingga terasa waktu terlalu cepat berlalu saat kita melaluinya bersama.

Dan, akhirnya perpisahan itu tiba. Sesuatu yang selalu aku benci kedatangannya tapi harus selalu aku lewati tanpa aku tau kapan itu akan terjadi. Dengan segala ketidaksiapan yang menggerogotiku, aku tetap harus melepaskanmu. Kamu temukan jalanmu, aku temukan jalanku. Kita bahagia dalam jalan kita masing-masing. Kamu berpegang pada prinsipmu, aku berpegang pada perasaanku. Kita berbeda dan memang tak harus berjalan beriringan.

Semua berjalan dengan cepat. Sapa manjamu, tawa renyahmu, cerita lugumu, dan segala hal yang membuat otakku penuh karenamu. Dan, aku harus membuang dan menghapus itu semua dari memori otakku agar kamu  tak lagi mengendap-endap masuk ke dalam hatiku, lalu membuat kenangan itu menjadi nyata dan kembali menjadi realita. Mari mengikhlaskan, setelah ini akan ada pertemuan yang lebih menggetarkan hatimu dan hatiku, akan ada seseorang yang masuk ke dalam hidupmu dan hidupku, dia akan menjadi alasan terbesar saat doa terucap lalu aku dan kamu menyisipkan namanya. Selamat menemukan jalanmu. 

Percayalah, bahwa perpisahan ini untuk membaikan hidupmu dan hidupku, bahwa setelah perpisahan ini akan ada rasa bahagia bertubi-tubi yang mengecupmu dengan seringnya. Percayalah bahwa pertemuan kita tidak sia-sia. Aku banyak belajar darimu dan aku berharap kau juga mengambil pelajaran dari pertemuan singkat ini. Semua butuh proses dan waktu saat kamu harus kehilangan sesuatu yang terbiasa kau rasakan. Baik-baik ya :)


Untuk Dia

Terimakasih telah membahagiakan dia, yang dulu menjadi bahagiaku.
Terimakasih telah membuatnya lebih nyaman melebihi nyamanku.
Terimakasih telah membuatnya jatuh cinta melebihi cintaku.

Dia pria baik, dari pertama bertemu hingga sekarang pun tetap menjadi pria baik bagiku. Hanya saja, pria itu lengah mengartikan semua perhatianku untuknya, pria itu jenuh untuk terus bersamaku, pria itu bosan berjalan beriringan denganku. Iya, kini aku digantikan olehnya.

Aku saja yang bodoh terus ingin bersamanya, aku gila ingin terus berjalan beriringan dengannya. Iya, terlalu muluk keinginanku ini. Baiknya, aku yang pergi dan menjauh.

Iya, aku dan pria itu sangat berbeda, semuanya tak sama, bertolak belakang. Pria itu gemar sekali mendaki gunung, senang berpetualang dialam, suka dengan keramaian, sedangkan aku? Berjalan duaratus meter saja rasanya mau mati, nafas terengah-engah. Jelas, aku bukan perempuan kuat seperti perempuan lainnya, aku hanya perempuan 'penyakitan' yang dilarang ini itu oleh orangtuaku.

Oh ya, pria yang ku ceritakan ini selalu absen untuk sarapan. Setiap ku ingatkan untuk sarapan, dia selalu berdalih 'gak sempet sarapan, nanti saja makan siang ya' selalu seperti itu. Kamu tau itu tidak? Masih belum mengenalnya secara mendalam? Sini aku bantu mengenalnya. Pria ini selalu tidur larut, jarang sekali sarapan, dia manja, dia dingin namun terkadang romantis.

Hanya mengingatkan, pria ini selalu malas untuk cukur rambut gondrongnya, malas untuk cukur kumis dan jenggotnya. Aku selalu mengingatkan agar rambutnya tak gondrong seperti perempuan, agar kumis dan jenggotnya tak dibiarkan. Namun, sekali lagi dia berdalih 'Biarin aja. Nanti aja ya cukurnya? Lucuan gondrong rambutnya, biar bisa dikepangin sama kamu' terus dan terus seperti itu. Bagaimana? Sekarang sedikit lebih tau kan apa saja kebiasaan pria itu?

Untuk perempuan yang sekarang menjadi 'kamu' nya kamu. Buat pria ini lebih bahagia ya, jangan membuatnya sakit, buat pria ini lebih nyaman bersamamu dibanding bersamaku, buat pria ini lebih jatuh cinta lagi padamu melebihi dia jatuh cinta padaku.

Aku harap nantinya, kamu lebih paham dengan semua sikapnya melebihi aku. Jangan membuatnya menyesal telah memilihmu, jangan membuatnya berpikir ulang karena telah mengakhiri dan mengabaikanku demi dirimu.

Maaf, perempuan ini masih terus mengkhawatirkan pria itu.


Rabu, 22 Maret 2017

Tentang Hati

Harus tau tentang hati. Perasaan yang muncul dengan sendirinya, juga bisa hilang dengan sendirinya. Sama halnya dengan seseorang, waktu yang mempertemukan denganya, mengisi kekosongan, mengukir cerita indah setiap detik yang dilewati. Saat tersadar bahwa ia pergi karena waktu. Semua ada fasenya, saat memiliki seseorang, maka harus siap juga untuk kehilangannya.

Merelakan, mengikhlaskan, dan melupakan memang bukan perkara yang mudah. Terkadang ada air mata yang terjatuh saat mencoba untuk ikhlas. Memaksa hati untuk tidak memikirkan, menghapus semua rasa, seakan tidak pernah ada dalam ingatan. Harus paham tentang perjuangan. Jangan sampai hanya sendiri yang berjuang, sedangkan yang diperjuangkan sama sekali tak ingin diperjuangkan.

Ini yang paling sering dirasa, saat merasa diabaikan, saat ditinggal, mencoba untuk berjuang, melakukan segala cara, apapun itu. Mungkin harus sadar, saat ia memilih untuk pergi, itu artinya ia tak ingin diperjuangkan lagi.

Harus bisa melupakan, mengikhlaskan, merelakan. Sebab tak seharusnya terus berlarut dalam kesedihan. Belajarlah menerima.


Kamis, 16 Maret 2017

Tolong Buat Aku Lupa

Jelaskan padaku mengapa semua jadi serumit ini? Aku tak tahu jika kamu tiba-tiba memenuhi sudut-sudut terpencil di otakku, hingga memenuhi relung-relung hatiku. Semua terjadi begitu cepat, tanpa teori dan banyak basa-basi. Aku melihatmu, mengenalmu, lalu mencintaimu. Sesederhana itulah kamu mulai mengusai hari-hariku. Kamu jadi penyebab rasa semangatku. Kamu menjelma jadi senyum yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Iya, mungkin, aku jatuh cinta. Entah kamu.

Semua kulakuan diam-diam. Begitu rapi. Hingga hatimu yang beku tak pernah berhasil cair. Semua berhasil ku sembunyikan. Hingga perasaanmu yang tidak peka tetap saja tak peduli pada gerak-gerikku. Aku pandai menyembunyikan banyak hal hingga kamu tak memahami yang sebenarnya terjadi. Aku tidak bisa melupakanmu.... sungguh! Aku selalu ingat caramu menatapku. Caramu mencuri perhatianku. Hal-hal sederhana itu seakan-akan sengaja diciptakan untuk tidak dilupakan.

Tolong buat aku lupa, karena aku tak lagi temukan cara terbaik untuk menghilangkan kamu dari pikiranku. Kita jarang punya kesempatan berbicara, jarang sekali bersama bahkan tidak pernah. Rasanya mustahil. Kamu dan aku berbeda, air dan api, dingin dan panas. Tapi, aku selalu ingat perkataanmu “Jangan pergi, disini terus” Aku tersenyum ketika barisan kalimat itu kau kirimkan untukku. Iya, harusnya aku tak perlu sesenang itu, karena mungkin kamu menulisnya tanpa perasaan, hanya untuk merespon perkataanku saja.

Rasanya menyebalkan jika aku tak mengetahui isi hatimu. Kamu sangat sulit kutebak, kamu seperti teka-teki yang punya banyak jawaban, juga banyak tafsiran. Aku takut menerjemahkan isyarat yang kamu tunjukkan padaku. Aku takut mengartikan kata-kata manismu yang mungkin saja tak hanya kamu katakan untukku. Aku takut memercayai perhatian sederhanamu yang kamu perlihatkan secara terselubung. Aku takut. Semakin takut jika perasaan ini bertumbuh ke arah yang tak kuinginkan.
Tolong hentikan langkahku, jika memang segalanya yang kuduga benar adalah hal yang salah di matamu. Tolong kembalikan aku ke jalanku dulu, sebelum aku mengganggu rute tujuanmu. Jika memang aku bukan tujuan akhirmu, aku akan pergi dan melupakanmu; walau sulit. Silahkan cari tujuan akhirmu.

Ketahuilah, Aku sedang berusaha melawan jutaan kamu yang mulai mengepul di otakku, seperti asap rokok yang menggantung di udara; kamu seakan-akan nyata. Aku tak percaya, ternyata kita bisa melangkah sejauh ini. Dan, selama ini juga, aku tak pernah berani mengatakan satu halpun yang mungkin bisa mengagetkanmu; aku mencintaimu, menyayangimu dan bahagia bersamamu.

Di antara rindu yang selalu gagal kuungkapkan di dalam rasa canggung yang belum kamu pahami.

Dwitasari
-sedikit gubahan-


Menjelaskan Kesepian

Waktu berjalan dengan cepat, merangkak yang kita kira lambat ternyata bergerak sangat cepat. Semua telah berubah, begitu juga kamu, begitu juga aku, begitu juga kita. Bahkan waktu telah menghapus KITA yang pernah merasa tak berbeda, waktu telah memutarbalikkan segalanya yang sempat indah. Tak ada yang tau, kapan perpisahan menjadi penyebab kegelisahan. Aku menjalani, kamu meyakini, namun pada akhirnya waktu juga yang akan menentukan akhir cerita ini. Kamu tak punya hak untuk menebak, begitu juga aku.

Kamu bilang, tak ada yang terlalu berbeda, tak ada yang terasa begitu menyakitkan. Tapi, siapa yang tau perasaan seseorang yang terdalam? Mulut bisa berkata, tapi hati sulit untuk berdusta. Kalau boleh aku jujur, semua terasa asing dan berbeda. Ketika hari-hari yang kulewati seperti tebakan yang jawabannya sudah kuketahui. Tak ada lagi kejutan, tak banyak hal-hal penuh misteri yang membuatku penasaran. Aku seperti bisa meramalkan semuanya, hari-hariku terasa hambar karena aku bisa membaca menit-menit di depan waktu yang sedang kujalani. Aku bisa dengan mudah mengerti peristiwa, tanpa pernah punya secuil rasa untuk menyelami sebab dan akibatnya. Aku paham dengan detik yang begitu mudah kuprediksi, semua terlalu mudah terbaca, tak ada yang menarik. Kepastian membuatku bungkam, sehingga aku kehilangan rasa untuk mencari dan terus mencari. Itulah sebabnya setelah tak ada lagi kamu di sini. Kosong.

Bagaimana aku bisa menjelaskan banyak hal yang mungkin saja tidak kamu rasakan? Aku disini menunggu kamu kembali. Namun, mungkin kamu tak mau lagi kembali, dan penyelamatan yang kurindukan hanyalah omong kosong. Harapanku terlalu jauh untuk mengubah semuanya seperti dulu, saat waktu yang kita jalani adalah kebahagiaan kita seutuhnya, saat masih ada kamu dalam hariku.

Perpisahan seperti mendorongku pada realita yang selama ini kutakutkan. Kehilangan mempersatukan aku pada air mata yang seringkali jatuh tanpa sebab. Aku sulit memahami kenyataan bahwa kamu tak lagi ada dalam kehidupanku, aku semakin tak bisa menerima keadaan yang semakin menyudutkanku. Semua kenangan bergantian melewati otakku, bagai film yang tak pernah mau berhenti tayang. Dan, aku baru sadar, ternyata kita dulu begitu manis, begitu mengagumkan, begitu sulit untuk dilupakan.

Ada yang kurang. Ada yang tak lengkap. Aku terbiasa pada kehadiranmu, dan ketika menjalani setiap detik tanpamu, yang kurasa hanya bayang-bayang yang saling berkejaran, saling menebar rasa ketakutan. Ada rasa takut tanpa sebab yang memaksaku untuk terus memikirkan kamu. Ada kekuatan yang sulit kujelaskan yang membawa pikiranku selalu mengkhawatirkanmu. Salahkah jika aku masih inginkan penyatuaan? Salahkah jika aku benci perpisahan?

Tak banyak yang ingin kujelaskan, saat kesepian menghadangku setiap malam. Biasanya, malam-malam begini ada pesan singkatmu yang selalu berhasil membuatku senyum sendiri. Tapi kali ini, aku sendiri, memikirkan kamu tanpa henti. Jika kita masih saling menghakimi dan saling menyalahi, apakah mungkin yang telah putus akan tersambung dengan pasti? Aku tak tau dan tak mau memikirkan keadaan yang tak mungkin kembali. Semua sudah jelas, namun entah mengapa aku masih sulit memahami, kenapa harus kita yang alami ini? Tak adakah yang lain? Aku dan kamu bukan orang jahat, namun mengapa kita terus saja disakiti. Bukankah di luar sana masih banyak orang jahat?

Jangan tanyakan padaku, jika senyumku tak lagi sama seperti dulu. Jangan salahkah aku, jika pelangi dalam duniaku hanya tersedia warna hitam dan putih. Setelah kamu tinggalkan kita, semuanya jadi berbeda. Aku bahkan tak mengenal diriku sendiri, karena separuh yang ada dalam diriku sudah berada dalammu... yang pergi, dan entah kapan kembali. Aku sangat merindukanmu, juga kita yang dulu.


Jika Dari Awal Aku Tak Mengenalmu

Akhirnya, aku sampai di tahap ini. Posisi yang sebenarnya tak pernah kubayangkan. Aku terhempas begitu jauh dan jatuh terlalu dalam. Kukira langkahku sudah benar. Kupikir anggapanku adalah segalanya. Aku salah, menyerah adalah jawaban yang kupilih; meskipun sebenarnya aku masih ingin memperjuangkan kamu.

Aku terpaksa berhenti karena tugasku untuk mencintaimu kini telah menjadi tugas barunya. Hari-hariku yang tiba-tiba kosong dan berbeda ternyata cukup membawa rasa tertekan. Mungkin, ini berlebihan. Tentu saja kamu pikir ini sangat berlebihan karena kamu tak ada dalam posisiku, kamu tak merasakan sesaknya jadi aku.

Jika aku punya kemampuan membaca matamu dan mengerti isi otakmu, mungkin aku tak akan mempertahankan kamu sejauh ini. Jika aku cukup cerdas menilai bahwa perhatianmu bukanlah hal yang terlalu spesial, mungkin sudah dari dulu kita tak saling kenal. Aku terburu-buru mengartikan segala perhatian dan ucapanmu adalah wujud terselubung dari cinta. Bukankah ketika jatuh cinta, setiap orang selalu menganggap segala hal yang biasa terasa begitu spesial dan manis? Aku pernah merasakan fase itu. Aku juga manusia biasa. Kuharap kamu memahami dan menyadari. Aku berhak merasa bahagia karena membaca pesan singkatmu disela-sela dingin malamku. Aku boleh tersenyum karena detak jantungku tak beraturan ketika kamu memberi sedikit kecupan meskipun hanya berbentuk tulisan.

Aku mencintaimu. Dulu. Mengetahui kamu tak memilihku adalah hal paling sulit yang tak bisa kumengerti. Aku masih belum mengerti. Mengapa semua berakhir sesakit ini? Aku sudah berusaha semampuku, menjunjung tinggi kamu sebisaku, tapi di mana perasaanmu? Tatapanmu dingin, sikapmu dingin, dan aku dilarang menuntut ini itu. Aku hanya jadi pelampiasan.

Jika kamu ingin tau, aku kesesakan dalam status yang menyedihkan itu. Aku terkatung-katung sendirian. Meminum asam dan garam, membiarkan kamu meneguk hal-hal manis. Begitu banyak yang kulakukan, mengapa matamu masih belum terbuka dan hatimu masih terlihat ragu?

Sejak dulu, harusnya tak perlu kuperhatikan kamu sedetail itu. Sejak pertama berkenalan, harusnya tak perlu kucari kontakmu dan kuhubungi kamu dengan begitu lugu. Sejak tau kehadiranmu, harusnya aku tak menggubris. Aku terlalu penasaran, terlalu mengikuti rasa keingintahuanku. Jika dari awal aku tak mengenalmu, mungkin aku tak akan tau rasanya menjatuhkan air mata di pipi. Semua berlalu dan semua cerita harus punya akhir. Ini bukan akhir yang kupilih.

Iya. Aku bodoh. Puas?
Bodoh karena terus mempertahankan pria yang tak punya hati.


Rabu, 15 Maret 2017

Jika Aku Tak Berbeda

Di ujung malam seperti ini, perempuan pada umumnya sudah berada di tempat tidur. Menarik selimutnya sampai menutup bahu untuk menghindari dingin malam yang mencekam. Ini salahku jika sampai saat ini aku belum terpejam, aku selalu sulit mencari kantuk. Entah mengapa sulitnya mencari kantuk sama seperti sulitnya memahami keinginanmu. 

Saat menulis ini, aku habis memerhatikan isi kicauanmu bersama seseorang yang tak kukenal. Seseorang yang tampak mesra denganmu, dalam tutur kata, entah dalam dunia nyata. Aku menebak-nebak dan karena teka-teki itulah aku jadi terluka parah. Seharusnya tak perlu ku ikuti rasa keingintahuanku. Tak perlu lagi kucari-cari kabarmu dari sudut dunia maya itu, tempat segala kemesraan bisa terjalin tanpa ku tau.

Begitu cepat kamu melupakaku Mas. Sementara di sini, aku masih menunggu kamu pulang. Aku tak temukan tangis dalam hari-harimu, nampaknya setelah perpisahan kita, kamu terlihat (sangat) baik-baik saja. Tak ada luka. Tak ada kegalauan. Tak ada duka. Kamu masih bisa tertawa, aku tak tau pria macam apa yang dulu pernah kucintai dengan sangat hati-hati ini.

Hampir setiap malam atau bahkan setiap saat, aku masih sering merindukanmu. Mengingat betapa dulu kita pernah baik-baik saja. Aku pernah kamu bahagiakan, kamu beri senyuman, kamu buat tertawa, juga terluka. Pada perkenalan kita dua tahun yang lalu, kamu seperti menahanku seakan memberitahu bahwa kamu tak ingin melepaskanku. Kamu memperhatikanku dengan gilanya. Saat itu, aku merasa begitu spesial, merasa begitu penting bagimu. Dan, inilah salahku, mengharapkanmu yang terlalu tinggi. 

Saat ini aku memang masih merindukanmu. Tapi, sisa-sisa rasa sakit itu masih ada. Aku belum bisa menerimamu menjauh tiba-tiba seperti itu. Mengapa aku tak bisa menerima semua secepat kamu menerima perpisahan kita? Karena kamulah yang meninggalkanku lebih dulu, menghilang scepat kilat meninggalkan tanya yang sampai saat ini masih tak ku temukan jawabannya. Mas, sungguh aku tak paham maumu. Apa matamu begitu buta untuk melihat bahwa dulu, waktu masih bersamamu, hanya kamulah satu-satunya yang aku perjuangkan dan aku harapkan?

Ingat, kamu pernah bilang bahwa kamu tak akan meninggalkanku sendirian. Sebagai perempuan yang tentu senang diberi harapan, aku tersenyum. Kamu tau apa yang kurasakan saat itu? Rasanya aku tak pernah ingin kehilangan kamu, bahkan membayangkannya pun aku terlalu takut. Namun aku tak sadar, justru ketika kita bisa begitu mesra, bisa saja tiba-tiba kita berakhir.

Paginya, semua kebersamaan manis kita, yang kuinginkan bisa lebih lama itu, berakhir hanya dengan percakapan beberapa menit. Tiba-tiba, kamu bilang aku ini berbeda. Tiba-tiba kamu bilang aku tak memiliki kecocokan lagi denganmu. Tiba-tiba kamu katakan bahwa semua tak bisa lagi kita jalani. Kenapa baru sekarang kamu ucapkan bahwa kebersamaan kita tak akan bertahan lama? Selama ini kamu ke mana? Selama kamu begitu rajin bilang cinta dan sayang, bahkan rindu, apakah saat itu kamu tak menyadari perbedaan kita?

Jika aku tak merengek saat ditinggal mendaki, jika aku seperti 'perempuan pendaki' itu, jika aku tak berbeda seperti yang kamu bilang, apakah kamu akan tetap bersamaku? Ah, mustahil !


Belajar Melepaskan

Kamu mengenalkan namamu begitu saja, uluran tanganmu dan suara lembutmu berlalu tanpa pernah kuingat-ingat. Awalnya, semua berjalan sederhana. Kita bercanda, kita tertawa, dan kita membicarakan hal-hal manis; walaupun segala percakapan itu hanya tercipta melalui pesan singkat BBM. Perhatian yang mengalir darimu dan pembicaraan manis kala itu hanya kuanggap sebagai hal yang tak perlu dimaknai dengan luar biasa.

Kehadiranmu membawa perasaan lain. Hal berbeda yang kamu tawarkan padaku turut membuka mata dan hatiku dengan lebar. Aku tak sadar, bahwa kamu datang memberi perasaan aneh. Ada yang hilang jika sehari saja kamu tak menyapaku melalui dentingan chat BBM. Setiap hari ada saja topik menarik yang kita bicarakan, sampai pada akhirnya kita berbicara hal paling menyentuh; cinta.

Kamu bercerita tentang mantan kekasihmu dan aku bisa merasakan perasaan yang kamu rasakan. Aku berusaha memahami kerinduanmu akan perhatian seorang perempuan. Sebenarnya, aku sudah memberi perhatian itu tanpa kamu ketahui. Mungkinkah perhatianku yang sering kuberikan tak benar-benar terasa olehmu? Aku mendengar ceritamu lagi. Hatiku bertanya-tanya, seorang pria hanya menceritakan perasaannya pada wanita yang dianggap dekat.

Aku bergejolak dan menaruh harap. Apakah kamu sudah menganggap aku sebagai wanita spesial meskipun kita tak memiliki status dan kejelasan? Senyumku mengembang dalam diam, segalanya tetap berjalan begitu saja, tanpa kusadari bahwa cinta mulai menyeretku ke arah yang mungkin saja tak kuinginkan.

Saat berkenalan, kita tak pernah bicara banyak. Hanya sesekali memberi perhatian yang penuh arti. Ketika berbicara di BBM, kita begitu bersemangat, aku bisa merasakan semangat itu melalui tulisanmu. Sungguh, aku masih tak percaya segalanya bisa berjalan secepat dan sekuat ini. Aku terus meyakinkan diriku sendiri, bahwa ini bukan cinta. Ini hanya ketertarikan sesaat karena aku merasakan sesuatu yang baru dalam hadirmu. Aku berusaha mempercayai bahwa perhatianmu, candaanmu, dan caramu mengungkapkan pikiranmu adalah dasar nyata pertemanan kita. Ya, sebatas teman, aku tak berhak mengharapkan sesuatu yang lebih.

Aku tak pernah ingin mengingat kenangan sendirian. Aku juga tak ingin merasakan sakit sendirian. Tapi, nyatanya....

Perasaanku tumbuh semakin pesat, bahkan tak lagi terkendalikan. Siapakah yang bisa mengendalikan perasaan? Siapakah yang bisa menebak perasaan cinta bisa jatuh pada orang yang tepat ataupun salah? Aku tidak sepandai dan secerdas itu. Aku hanya manusia biasa yang merasakan kenyamanan dalam hadirmu. Aku hanya perempuan yang takut kehilangan seseorang yang tak pernah aku miliki seutuhnya.

Salahku memang jika mengartikan tindakanmu sebagai cinta. Tapi, aku juga tak salah bukan jika berharap bahwa kamu juga punya perasaan yang sama? Kamu sudah jadi sebab tawa dan senyumku, aku percaya kamu tak mungkin membuatku sedih dan kamu tak akan jadi sebab air mataku. Aku percaya kamulah kebahagiaan baru yang akan memberiku sinar paling terang. Aku sangat mempercayaimu, sangat! Dan, itulah kebodohan yang harus kusesali.

Ternyata, ketakutanku terjawab sudah, kamu menjauhiku tanpa alasan yang jelas. Kamu pergi tanpa ucapan pisah dan pamit. Aku terpukul dengan keputusan yang tak kamu sampaikan padaku, tapi pantaskah aku marah? Aku (mungkin) tak pernah jadi siapa-siapa bagimu, mungkin aku hanya persinggahan; bukan tujuan. Kalau kamu ingin tahu, aku sudah merancang berbagai mimpi indah yang ingin kuwujudkan bersamamu. Mungkin, suatu saat nanti, jika Tuhan izinkan, aku percaya kita pasti bisa saling membahagiakan.

Aku tak punya hak untuk memintamu kembali, juga tak punya wewenang untuk memintamu segera pulang. Masih adakah yang perlu kupaksakan jika bagimu aku tak pernah jadi tujuan? Tidak munafik, aku merasa kehilangan. Dulu, aku terbiasa dengan candaan dan perhatian kecilmu, namun segalanya tiba-tiba hilang menguap, bagai asap rokok yang hilang ditelan gelapnya malam.

Aku harus belajar tak peduli, belajar memaafkan, juga merelakan.


Sama Saja

Kamu datang membawa banyak harapan, membawa banyak janji lewat bisikan. Kamu hangatkan hatiku yang dingin dengan sesuatu yang kamu sebut cinta. Kamu genggam lembut perasaanku dengan sesuatu yang kamu sebut kisah nyata. Lalu, sosokmu masuk dalam hidupku; membawa warna berbeda dalam hari-hariku.

Aku sudah bosan dengan mata bengkak karena menangis, sudah bosan melamun karena disakiti, dan sudah bosan merasa lelah karena terlalu sering dibuat menunggu. Kamu kembali bisikan sesuatu lagi di telingaku, "Aku tidak akan seperti dia." Kamu selalu mengaku begitu, kamu berjanji tak akan meninggalkanku seperti beberapa orang yang lebih dahulu datang ke dalam hidupku.

Mas, aku begitu mempercayaimu. Ketika kamu datang membawa sesuatu yang menarik, mataku terlalu silau untuk mengawasi gerak-gerikmu. Pesonamu terlalu berkilau hingga membuatku buta segala. Hatiku kamu kendalikan, perasaanku kamu eratkan, dan hatiku kamu permainkan. Pelan-pelan, kamu semakin masuk ke dalam hidupku, kamu juga terlibat dalam nasibku. Kita semakin dekat karena percakapan-percakapan manis di Chat BBM, juga sebab kata-kata manismu dalam setiap obrolan bodoh kita di pesan singkat.

Suaramu mengalir di telingaku setiap malam. Menghujaniku dengan kata sayang, mengangkatku dengan kebahagiaan yang kamu janjikan, dan membawaku terbang ke mimpi-mimpi yang pernah kita rancang dengan begitu teliti dan teratur. Hadirmu membuat aku percaya bahwa cinta tak melulu soal air mata. Aku begitu mudah merasa nyaman denganmu, begitu mudah merasa bahwa kamu adalah pengobat lukaku. Kuikuti permainanmu, permainan yang tak kuketahui peraturannya. Aku masuk tanpa persiapan, ketika kamu bawa aku berlari, berjalan, dan berhenti; aku masih tetap merasa baik-baik saja. Padahal, diam-diam, kamu sedang merancang sesuatu. Sesuatu yang ujung-ujungnya malah menyakitiku.

Kamu pernah berjanji, suatu hari nanti hanya kamulah yang bertahan bersamaku. Kamu pernah berkata, bahwa kamu akan terus bersamaku. Kamu pernah menjanjikan kita yang bahagia, yang nyata, yang tanpa luka. Tapi, nyatanya? Kamu mengikari janji-janji yang sempat membuatku berharap lebih. Ingat dengan semua janji yang pernah kamu ucapkan? Atau kamu mendadak Amnesia dengan janji kamu sendiri?

Kamu sama saja Mas. Sama seperti yang lainnya, yang memilih pergi; saat aku sedang cinta-cintanya. Tega sekali !