Suatu ketika, aku pernah berpikir bahwa mengapa harus kau yang dikirim Tuhan untuk kucintai.
Bisakah waktu diputar kembali? Bisakah alam semesta tidak mempertemukan kita lagi?
Ketika pertanyaan-pertanyaan gila itu seolah tidak memiliki jawaban, aku merasa takdir begitu menyedihkan. Ketika kenangan kembali terusik dalam ingatan, aku bahkan masih menyesali satu hal sampai saat ini, "mengapa dulu hatiku kujatuhkan padamu?"
Kekacauan itu telah berhasil kau ciptakan begitu saja, entah bagaimana kesedihan ini bisa kuhindari. Dan kau tidak pernah punya jawaban ataupun penjelasan sama sekali.
Sepertinya segala kenangan tentangmu selalu saja berujung pada kesedihan. Kita pernah saling mencintai dengan sungguh, kita pernah saling memperjuangkan dengan erat, bahkan kita pernah saling membangun mimpi-mimpi yang kita sepakati lalu saling berjanji untuk menuntaskannya di masa depan kelak, sebelum pada akhirnya semua itu hanya lebur dalam luka hati.
Rasa yang telah terlanjur ada, bukan mudah untuk lenyap seketika. Secara pelan-pelan aku ingin menjauhimu diam-diam, atauh bahkan mungkin aku ingin membencimu diam-diam, aku ingin kembali merapikan perasaanku yang tidak lagi bersedia kau balaskan.
Kelam dalam harapan yang tidak menemui terang sama sekali, semakin hari kau semakin penuh dengan ketidakpastian, kau semakin samar menciptakan keresahan, seolah kau padamkan setiap harapan-harapan yang ku pertahankan untuk terus bertahan sampai disini. Kau mengabaikan setiap perhatian serta ketulusan dari hatiku yang dalam. Seolah-olah semua ketidakjelasanmu ini adalah isyarat bahwa kau tidak peduli lagi dengan semua yang ada.
Aku masih kurang paham dengan maksudmu. Perjelas lah, aku akan menjauh jika itu yang kau mau. Tolong bantu aku, jangan diam saja. Aku seperti sedang belajar berjalan namun tidak ada yang menuntunku, bantu aku merapikan kembali hati ini, sudah terlalu hancur jangan lagi kau biarkan bertambah hancur. Tunjukkanlah arah yang paling tepat untuk kembali seperti dulu, seperti saat kau belum ada dihidupku.
Setidaknya bantu aku untuk kembali mengumpulkan kepingan-kepingan hati yang telah berserakan. Aku tidak memintamu mengutuhkannya, ku pastikan aku bisa sendiri, asal kau tidak mematahkannya (lagi).
Dari lubuk hati yang paling dalam, aku sering menduga-duga bahwa ini belum berakhir, dan sejauh apapun kuyakinkan hatiku, aku hanya akan mengumpulkan rasa kecewa darimu (lagi). Ini memang sudah berakhir, harusnya tidak lagi terus kupaksa hatiku untuk menantimu, tidak lagi kupaksa hatiku untuk bertahan. Aku hanya akan belajar tegas untuk diriku sendiri.
Baiklah, mari saling menghilang saja. Biarkan kita menghilang karena waktu. Aku akan belajar mengikhlaskanmu, sungguh. Bukankah ini sebagian dari keinginanmu? Bukankah terlepas dari kisah ini yang kau mau? Apa kau sudah cukup puas menyakitiku? Pergilah, kuharap akan kau dapati kepuasan setelahnya, biar Tuhan saja yang membalasmu.
Bukankah menghilang hal yang cukup mudah bagimu?
Masitah Dahlan—