Selasa, 12 November 2019

Aku Mencintaimu Seluas Ikhlasku Melepaskanmu

Aku ingin bercerita.
Tentang suatu hari, dimana aku benar-benar mengenal apa itu rasa kecewa. Luka yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya, luka yang harus aku bayar dengan tetes demi tetes air mata.

Aku pernah mencintai seseorang, cinta yang boleh ku katakan, itu luar biasa. Cinta yang didalamnya kuberi rasa percaya, setia dan doa. Bagiku, cinta yang kepadanya lebih indah dari sekedar lagu-lagu cinta.

Hari demi hari, bersamanya aku berbagi. Susah dan senang ku, tawa dan air mataku, mimpi dan harapanku, bersamanya aku bercerita. Tidak pernah sekalipun kepadanya aku menaruh curiga, bahkan ketika jarak menjadi penghalang diantara kami. Ya, cinta memang seharusnya seperti itu, bukan? Tumbuh bersama rasa percaya, jauh dari segala bentuk curiga.

Sampai suatu hari, aku menemukan sesuatu yang benar-benar melukai hati. Bahkan, boleh kubilang, ini mematahkan segala bentuk harapan dan asa, yang pernah ku terbangkan ke langit doa atas nama cinta.

Kamu tahu? Kesetiaanku dilukainya tanpa setengah-setengah. Dia pergi tanpa berpamitan, dia menghilang tanpa kabar. Dan, ketika akhirnya aku menemukan, ia telah bahagia bersama seseorang yang lain. Tentu itu bukan aku. Kepada seseorang yang lain, ia telah jatuh cinta.

Sungguh, jangan tanyakan kepadaku tentang luka hati. Bahkan, akupun tidak pernah membayangkan sebelumnya. Yang membuat sakit, bukan tentang ia yang semudah itu jatuh cinta kepada dia selain aku. Tapi, tentang aku yang semudah ini memberi hati dengan utuh. Namun aku harus belajar menerima, jika tidak semua hal di Dunia ini berjalan sesuai harapan dan rencana.

Setelah hari itu, aku tidak mengutuk apapun darinya. Aku tetap percaya, dia seseorang yang baik. Akupun tidak membencinya, karena suka atau tidak suka, menolak atau menerima, harus aku akui bahwa ia pernah menjadi seseorang teristimewa di hatiku.

Dan satu lagi, cinta yang baik tidak akan pernah terbagi kepada dua hati, kepada dua cinta, dengan orang yang berbeda.

Penakecil—


Sabtu, 02 November 2019

Tentang Hujan yang Menahanmu Pergi

Malam itu, hujan deras sekali. Terjebak dan tak bisa pulang. Aku senang, karena bisa bersamamu lebih lama lagi. Aku berterima kasih pada hujan yang menahanmu pergi.

Beberapa jam sebelumnya, kau terjebak hujan ketika berangkat ke kota ku. Kau bilang "sabar ya. Mas kejebak hujan, mungkin sampai lebih lama" "Mas basah kuyup, neduh dulu ya sayang" "iya Mas, gak apa-apa. Hati-hati ya"

Sungguh, aku bahagia sekali.

Sampai di kost-an ku, kau bilang "Mas lapar, ke tempat makan saja ya" "iya Mas" jawabku. Sepanjang perjalanan kau bercerita, katamu "Tadinya Mas mau pulang lagi loh karena hujan, tapi sudah setengah perjalanan jadi ya lanjut aja. Kasian juga ada yang nungguin dan kangen juga, hehe" aku hanya tertawa.

Gerimis, manis sekali.
Tuhan, aku boleh memeluknya kan? Boleh ya, sekali saja?

"Mas bajunya basah banget loh, nanti masuk angin. Kenapa tadi gak minta bawain jaket aku?" Tanyaku. "Enggak apa-apa, jaketnya nanti saja Mas pinjam buat pulang, ya?" Jawabnya.

Dia membelokkan motornya, "temenin Mas beli baju ya. Gabetah ini udah basah kuyup" aku hanya mengangguk. "Bantu pilihin ya" katanya. "Gak mau Mas, malu di lihat mbak nya" jawabku. "Oh yasudah, tunggu sebentar ya"

Setelah itu, kita ke cafe sebrang tempat dia membeli baju. "Mau makan apa?" tanyamu. "Makannya samain aja, tapi aku minumnya jangan kopi ya" jawabku. Selesai makan, seperti biasa kita bercerita apapun, tertawa bersama, ah bahagia sekali.

Aku melihat jam, sudah malam ternyata. Saat bergegas pulang, tiba-tiba hujan deras. Aku bahagia saat itu, sungguh. Baru kali ini aku bahagia karena hujan. "Pulang nya nunggu reda ya?" Tanyamu. Aku mengangguk.

Hujan reda. Kita bergegas pulang. Setengah perjalanan, kau baru ingat barangmu tertinggal di kursi. Akhirnya putar arah, namun setelah sampai disana barang itu sudah tidak ada, dan cafe pun sudah tutup. Kita tertawa, menertawakan celana dan baju basah yang mungkin dibawa oleh petugas kebersihan disana.

Lagi lagi aku bahagia.
Juga karena hujan malam itu, aku bisa berlama-lama dengannya.

Oya Mas, jika kau ingin tahu. Aku tak pernah mengunjungi tempat itu lagi. Aku terlalu pengecut untuk mendatangi cafe itu bahkan aku tak berani untuk sekedar duduk di kursi yang pernah kita tempati dulu.


Tentang Kayu Bakar dan Kenangan Topi Lapangan

"mas, aku harus bawa kayu bakar. gimana ya?"

Berawal dari perlengkapan ospek jurusan yang mewajibkan mahasiswa baru membawa kayu bakar. Aku merengek memintamu menemaniku mengambil kayu bakar di dekat rumah kakak ku. Kamu mengiyakan.

Lucu sekali, kita melewati jalan yang sama hingga tiga kali. Aku lupa jalan menuju rumah kakak ku, kita berhenti di pinggir jalan dan tertawa. Bisa-bisanya aku lupa jalan ke rumah kakak ku sendiri. Akhirnya aku menelepon kakakku untuk menjemput. Sampai di rumah kakak ku, dengan segala pertanyaannya, aku diinterogasi. "de, pacarmu ya?" Aku hanya tertawa.

Setelah membawa kayu bakar, aku pamit pulang. Tiba-tiba dengan santai nya kakakku bilang "Titip ade saya ya. Sayang kan sama ade saya? Jagain ya, jangan dibikin nangis" dia hanya mengangguk tersenyum. Lalu kakakku memberiku uang untuk membeli perlengkapan yang belum ku beli.

Sampai di kost-an ku, ia bertanya "apa lagi yang kurang atau masih ada barang yang harus dibeli gak?" "Masih banyak mas, tapi besok saja bareng temanku" jawabku. "Yasudah sekalian saja sama Mas sekarang, yuk!" Setelah barang terkumpul, dia melarangku membayar. "Simpan saja uang nya. Ini bayar nya pakai uang Mas saja, ya"

Tuhan, baik sekali hamba-Mu. Aku boleh mencintainya, ya?

Sebelum pulang, dia bertanya "perlengkapan nya sudah semua?" "Belum Mas" jawabku. Lalu dia mengambil catatan yang ku pegang. "Tas, lomar, topi lapangan, headlamp, tikar. Ini belum ya? Pakai punya Mas aja. Lusa ya, karena besok Mas lembur" aku hanya mengangguk.

Dua hari setelahnya, ia kembali menghubungiku. Dan benar saja, dia membawa semua perlengkapan yang malam itu belum ada. Aku hanya tertawa melihatnya membawa banyak barang. Dia bilang "topi lapangan nya baru, soalnya punya Mas sudah lusuh. Dijaga baik-baik ya" aku mengangguk.

Aku bahagia.
Sekali lagi, dia membuatku bahagia.

Oya Mas, perlu kau tahu. Topi lapangan pemberianmu masih tersimpan rapi di lemariku. Masih sering ku pakai ketika tugas lapangan. Dan tentu saja, aku semakin merindukanmu.
Tidak, kau tak perlu datang lagi.


Juli 2015

Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya kita bertemu. Mungkin empat tahun lalu, ketika aku berlatih dance di rumahmu. Saat itu, kita hanya sebatas saling mengenal saja. Kebetulan, adikmu adalah teman sekolahku. Dan kebetulan sekali, aku dan dia ada di kelompok yang sama. Mau tak mau selama dua minggu aku selalu bertemu denganmu.

Empat tahun berlalu, ternyata Tuhan mempunyai rencana yang tak ku sangka sebelumnya. Tiba-tiba saja kita menjadi sedekat nadi, hanya karena sebuah "status BBM" sore itu. Kau dengan santai membalasnya, dan tanpa bisa ku kendalikan, percakapan kita menjadi lebih serius. Merasa kehilangan jika salah satu tak berkabar. Merasa senang ketika diperhatikan.

Bukankah perempuan manapun, akan senang jika diperhatikan?

Beberapa Minggu sebelumnya, aku dinyatakan lolos seleksi PTN. Ah, bahagianya. Dan ternyata jarak kampusku tak lebih dari dua jam menuju tempatmu. Rencana apa lagi ini, Tuhan? Apakah ini kebetulan lagi? Namun jika ditanya bahagia, tentu saja aku bahagia.

Malam itu, kau menghubungiku untuk bertemu. Aku mengiyakan. Aku pun masih ingat tempat dimana kita bertemu, warna baju yang kau kenakan malam itu, bahkan wajah gugupmu. Aku masih mengingatnya, masih jelas tergambar dalam ingatan. Dan sesekali, aku merindukan malam itu.

Gugup sekali. Tiba-tiba kau bertanya, "kita mau kemana?" Senang sekali, tentu saja. "mas sudah makan? ke tempat makan saja" jawabku. Kamu mengangguk. Sampai di sebuah cafe, kau memesan makan. Lalu kita berbicara hingga tak ingat waktu. Sial, kenapa waktu bergerak cepat sekali? Aku masih tak ingin berakhir, namun jarum jam terus berputar. Baiklah, aku mengalah.

Malam itu, aku bahagia.
Bahagia sekali.