Jumat, 24 Agustus 2018

(Bukan) Mati Rasa

"Masih betah sendiri aja, kapan cari yang baru?"
"Move on dong, jangan masalalu aja yang dipikirin"
"Dia aja bisa ketawa pas ninggalin Lo, sedangkan Lo disini terpuruk begini. Ngapain?"

Aku masih mendengarnya hingga kini. Tak bosan kah menanyakan hal yang sama berulang kali? Aku betah menyendiri pun tak merugikan siapa-siapa kan? Tak perlu diributkan.

Bagiku, melepaskan masalalu tak selalu mencari yang baru. Karena hati setiap manusia berbeda dalam hal melupakan. Belum sepenuhnya melupakan pun bukan berarti tak bisa melupakan. Hanya waktunya belum tepat.

Aku tahu, mereka menyayangiku dengan berkata seperti itu. Memang tidak salah, tapi aku bukan perempuan yang mudah menerima hal baru. Aku harus beradaptasi, menyesuaikan dengan keadaan, bahkan susah payah untuk memulai sesuatu, tak seperti perempuan lain yang dengan mudah beradaptasi dengan hal baru. Karena setiap aku membersamai seseorang, aku tak pernah setengah hati. Aku memberinya rasa yang utuh, semuanya ku lakukan dengan sungguh.

Begini, perihal membuka hati. Perempuan sepertiku tak mau terburu-buru menentukan. Dia cocok atau dia tak cocok denganku. Bukan seperti itu. Aku tak ingin hal menyakitkan seperti dulu, terulang lagi. Cukup sekali. Karena setelah ratusan hari terlewati pun, aku masih ingat bagaimana sakitnya ditinggalkan dengan tega. Bahkan dengan banyaknya yang menghampiri, tak lantas membuatku membuka hati.

Sungguh, aku bukan mati rasa dengan cinta. Siapa yang tak ingin jatuh cinta lagi setelah disakiti? Siapa yang tak ingin dibersamai seseorang lagi? Akun ingin. Tapi tak semudah yang dipikirkan. Ada banyak hal yang harus ku pertimbangkan. Salah satunya, hatiku belum benar-benar pulih. Ia masih lebam, terkoyak dan berdarah-darah. Aku tak mungkin memberi hati yang tak layak pada seseorang yang akan membersamaiku. Meski tak pernah benar-benar utuh kembali, setidaknya ia pulih dari luka.

Sudah ku bilang, butuh waktu cukup lama untuk menyembuhkan hatiku. Jika memang sudah waktunya, dan memang dia pria terbaik yang Tuhan berikan, aku akan menerima nya.

Maaf, bukan tak ingin menerima siapapun. Atau terkesan tak bisa melupakan masa lalu. Aku butuh waktu untuk memulihkan segalanya.


Bukan Seperti Ini Caranya Mengakhiri

Aku tak pernah menyalahkan siapapun.
Kau meninggalkanku dengan begitu tega pun, tak masalah bagiku.
Kau melanjutkan kisah ini dengan perempuan pengganggu itu pun terserah.
Lakukan sesukamu.

Bukan seperti ini caranya mengakhiri sesuatu.
Bukan dengan tindakan bodoh seperti ini.
Kau masih bersamaku, namun sangat berani membersamai yang lain.
Sudah sehebat apa, kau melakukan itu?

Tak bisakah bicara baik-baik, saat memutuskan sesuatu?
Tak seperti ini, berlalu tanpa penjelasan apapun.
Saat ku tanya mengapa, menoleh pun kau tidak.
Memangnya kau siapa, melakukan hal setega itu?

Setidaknya, lepaskan aku dulu.
Lepaskan segala tentang kita.
Tidak seperti ini, mencari perempuan lain saat masih bersamaku, lalu dengan mudah melepaskanku.

Apakah segala perjuangan yang ku lakukan tak pernah berarti?
Apakah sia-sia saja yang ku lakukan selama ini?
Kau lelaki pengecut.

Ingatlah, bahwa menjadi buruk adalah suatu pilihan.
Dan itu pilihanmu.


Segala Hal yang Membuatku Mengingatmu

Sesekali aku masih mengingatmu dipenghujung malam. Bukan sesekali, maksudku seringkali aku masih mengingatmu hingga kini. Tetap saja, pikiranku masih kau kuasai.

Aku kembali membuka galeri, menemukan fotomu bahkan foto kita yang masih tersimpan dengan rapi. Aku masih ingat kapan dan dimana foto itu diambil. Benar katamu, aku memang hebat dalam hal mengingat.

Di malam sedingin ini, aku kembali membuka percakapan manis di Twitter 5 tahun lalu. Tentang percakapan abstrak yang kita lakukan hingga tengah malam. Betapa kita pernah berada di masa yang menyenangkan. Kita pernah sebahagia itu.

Setiap libur kuliah, aku selalu singgah di kotamu. Aku sempatkan mengunjungi tempat yang dulu pernah kita datangi. Semuanya masih sama, tak ada yang berubah, tak ada yang berganti. Yang berubah hanya kita, yang berganti hanya kita, tidak dengan tempat ini.

Hingga kini, entah kenapa kau masih menguasai hati dan pikiran. Walau banyak yang datang menawarkan bahagia, yang dengan sekuat tenaga mencoba memenangkan cinta, yang berjuang penuh menyembuhkan dan merawat luka, yang tak pernah bosan membuat tertawa, dan mungkin yang melakukan segala hal untuk merebut hati. Tetap saja, hatiku tetap terkunci.

Pernah suatu ketika, saat aku dan pria yang sedang dekat denganku singgah di suatu tempat dan memesan makan. Kau adalah yang pertama ku ingat saat melihat potongan mentimun di makanan yang disajikan. Aku bergumam "pasti jika itu kau, kau akan langsung menutup hidung dan meletakkan mentimun dipiringku."

Pernah suatu ketika, saat hujan deras mengguyur kotaku. Kau masih yang pertama ku ingat, karena hujan mengingatkan ku tentang kau yang menarikku dari kerumunan saat berteduh dan berkata "Jangan takut hujan, hujan itu menenangkan" Terkadang, aku menangis saat mengingat semua kenangan itu.

Mas, mungkin kau takkan membaca tulisan ini tapi jika dengan segala keajaiban kau menemukan tulisan usang ini. Ketahuilah, kau pernah ku cintai dengan sangat. Kau pernah ku perjuangkan dengan sungguh.


Aku masih perempuan yang pertama kali kau kenal. Walau tak utuh, rasaku tetap ada.


Kepada Perempuan yang Sedang Berada di Titik Jenuh

Kau pernah merasa jenuh? Aku sedang. Ternyata seperti ini rasanya. Melakukan apapun, kau tak tenang. Selalu merasa cemas, bahkan untuk memejamkan mata pun sering merasa gundah. Apa yang salah? Atau banyak masalah? Mungkin iya.

Hubungan bertahun-tahun pun tak menjamin rasa jenuh takkan ada. Ia seperti bom waktu, yang semakin lama semakin membuatmu takut. Perihal hubungan yang sedang kau jalani sekarang, sebahagia apa kau dengannya? Ku tanya sekali lagi, dengannya kau menemukan kenyamanan? Menghabiskan waktu bersamanya apakah kau tenang?

Aku, kau, dan semuanya pun tahu. Bahwa hubungan yang baik adalah keduanya saling terbuka. Tak ada yang di tutupi, apapun. Namun kau harus tahu betul, bahwa ada beberapa bagian dari masa lalu nya yang tak ingin ia ceritakan pada dunia, bahkan padamu; kekasihnya. Tak ada yang salah, tentang kau yang ingin mengetahui masalalu nya, dan tentang ia yang tak ingin kau terlalu masuk di masa lalu nya.

Pernah berpikir jika menjadi kekasihnya, kau harus tahu segala tentangnya? Itu tak salah, namun tak baik. Menuntut dijadikan prioritas, memangnya kau sehebat apa? Merengek selalu meminta temu, memangnya kau siapa? Meminta untuk selalu ada, memangnya kau sudah melakukan apa? Kau hanya kekasihnya, belum menjadi pendamping hidup nya.

Kau tahu, perempuan manapun tak ingin lelaki yang ia perjuangkan mengkhianatinya. Apalagi tak menepati janji yang pernah dibuat. Lelaki seperti apa, untuk menepati janji saja tidak bisa? Sudah sehebat apa, hingga dengan tega menyakiti anak perempuan yang dibahagiakan mati-matian oleh ayah nya? Kau ingin disebut lelaki pengecut?

Harusnya, semakin lama kau menghabiskan waktu dengannya. Kau semakin mengenal perempuan yang membersamaimu bertahun-tahun seperti apa.  Kau seharusnya tahu, apa yang ia sukai dan tidak disukainya. Jika kau tak mengetahuinya sama sekali, selama kurun waktu itu kau menghabiskan waktu dengan siapa? Kau tak memakai hati membersamainya? Hanya formalitas saja karena ia terus menerimamu di kondisi terburukmu sekalipun?

Begini, tentang janji yang tak kunjung kau tepati. Sebenarnya perempuan kecewa akan hal itu, jika memang tak berniat menepati janji, dari awal kau tak perlu menjanjikan apapun. Kau hanya perlu membersamainya disegala keadaan, dan tak menutupi apapun. Itu cukup baginya.

Lalu sekarang kau mendadak berbeda pada perempuan yang rela terjaga demi menemanimu, atau menunggumu pulang kerja. Yang kau inginkan apa sebenarnya? Ketika kau menyakiti perempuan, apakah kau tak ingat Ibu mu? Adik atau kakak perempuanmu? Jika mereka disakiti juga, kau akan bagaimana? Atau mungkin kau terbiasa untuk menyakiti perempuan?

Teruntuk perempuan yang dikhianati. Sudahi saja jika membersamai nya hanya membelenggu segala kegiatanmu. Akhiri saja jika bersamanya hanya membuang waktumu. Kau tak pantas diperlakukan seperti itu, karena cinta pertama mu (Ayah) saja tak pernah melakukan itu padamu. Berakhir dengannya, bukan akhir dari segalanya. Kau pantas diperlakukan sebaik mungkin.

Melangkahlah meski tak bergandengan lagi. Tunjukan bahwa kau perempuan hebat. Dengan atau tanpanya, kau pasti akan bahagia.