Rabu, 19 Juli 2017

Cara (Pergi) Yang Salah

Jika harus ku ceritakan, kau bukan lelaki romantis; jarang sekali bersikap manis. Namun, kau pandai merangkai kata yang selalu membuatku luluh. Semarah apapun, sekesal apapun, selalu; kau selalu berhasil membuatku tersenyum kembali. Ah, (dulu) rasanya bahagia sekali. Awal mengenalmu; saat itu hatiku sedang patah; terluka parah; berdarah-darah karena cinta yang salah. Kau datang membawa kenyamanan berbeda. Akupun jatuh dalam pelukanmu. Hingga duatahun lamanya kita bersama. Namun, yang kurasa kita tak pernah benar-benar bersama, hanya aku dan bayanganmu. Kau ingat? Kau pernah menjanjikan bahagia yang tanpa tangis, namun kau malah membuatku menangis semalam suntuk. Kau juga berjanji takkan menyakitiku, nyatanya kau menyakiti bahkan merusak hatiku.

Apa harus ku ceritakan ulang? Apa harus ku jelaskan pada semua orang? Apa harus ku beberkan keburukanmu? Sayangnya, aku tak sejahat itu. Aku tak diajarkan berbuat sekejam itu oleh Ibuku. Beruntung sekali dirimu. Berbanggalah, aku tak seperti kebanyakan perempuan diluar sana. Aku tak pernah menuntut apapun, aku tak pernah meminta ini itu, aku masih bisa menerima walau aku tak pernah jadi prioritasmu. Aku hanya meminta waktumu sebentar, tak lebih. Ah tapi, kau selalu sibuk dengan duniamu. Kau selalu asik dengan teman-temanmu. Aku hanya figuranmu, dibutuhkan ketika kejenuhanmu datang.

Bukan, aku bukan terlambat menyadari, bukan tak mengetahui apa-apa. Aku tahu segalanya, sungguh. Hanya saja, aku berpura-pura semuanya baik-baik saja. Aku berpura-pura tak terjadi apa-apa. Bodohnya, aku bertahan dengan keadaan gila itu selama empat bulan lamanya. Harusnya, saat ku sadar kau mulai berubah, aku bergegas menguatkan hati. Harusnya saat kau mulai menghilang, aku bersiap untuk mundur. Salahku, mengunci mulut tanpa berani bertanya apapun. Hingga akhirnya, aku menyakiti diriku sendiri. Aku belum menyiapkan hatiku, tiba-tiba kau datang dan pergi, kau berlari tanpa memberi aba-aba, kau pergi tanpa mengucap pamit. Ku pikir, kau lelaki dewasa. Nyatanya, kau tak lebih baik dari bocah ingusan. Benar kata orang, umur bukan lah patokan dewasa. Aku tertawa mengingatnya.

Begini, aku membersamaimu selama 2tahun memangnya tak menghabiskan waktuku? Memangnya tak menguras tenagaku? Kau pikir, aku selalu baik-baik saja? Kau salah besar jika selama kurun waktu 2tahun tersebut, menganggap aku dan semuanya baik-baik saja? Kau pikir, yang kau berikan kebahagiaan saja? Lalu, saat kau (tak menyadari) memberi luka, kau tak ingat? Haha, manusia lucu! Topengmu banyak, berganti setiap hari. Aku (bodoh) tak menyadari apapun. Ya, aku tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan perempuan (perebut) itu. Dia cantik, (mungkin) sempurna untukmu. Dan aku, kalah telak olehnya, tak apa. Dan Mas, apakah itu yang kau sebut cinta? Ketika kau masih denganku, namun kau tertawa dengan perempuan lain. Semuanya berubah, kamu; sikapmu. Hey, aku tak sebodoh itu mengartikan sikapmu yang mendadak berubah.

Harusnya jika kau menemukan cinta yang baru; jika kau mendapatkan kenyamanan yang baru; jika memang denganku tak kunjung kau temukan bahagia; harusnya bicara saja sejujurnya. Katakan saja kau tak mencintaiku lagi; katakan saja tak ada rasa sayang lagi; katakan saja kau bosan dan jenuh bersamaku. Perlu kau tahu, aku takkan memaksamu untuk terus bersamaku jika pada kenyataannya kau tak bahagia. Aku tak sejahat yang kau pikirkan. Apa kau tak ingat? (Dulu) kita,  tepatnya kau pernah berkata 'tak ada yang harus ditutupi, terbuka saja semuanya' kenyataannya kau tak (pernah) menepati apa yang kau ucapkan.

Aku tak menyalahkan kau mencintai perempuan (perebut) itu. Hanya saja, cara pergimu yang salah. Kau terlalu egois; tak mau memikirkan hati orang lain. Kau serakah; kau dengannya, namun denganku kau enggan melepaskan, enggan menyudahi hubungan. Kau sebut kau lelaki? Ah sudah, aku sudah (sangat) merelakanmu. Pergi saja, aku muak dengan lelaki brengsek sepertimu. Perlu kau sadari, yang dimulai dengan cara terbaik saja tak selalu berakhir baik, apalagi yang dimulai dengan cara tak baik, mungkin saja akan berakhir jauh tidak baik. Aku tak mendoakan yang buruk, namun itulah kehidupan. Apa yang kau tanam, itulah yang akan kau tuai. Jadi, selamat menuai apa yang kau tanam selama ini. Semoga panen yang kau dapat melimpah, mungkin beberapa tahun kedepan akan sangat melimpah. Aku hanya akan menyaksikan dari kejauhan; tertawa terbahak; dan berkata "Selamat, karma memang tak pernah salah tempat"

-yuki


Selasa, 18 Juli 2017

Perihal Masa Depan yang (Dulu) Selalu Di(ku)semogakan

Hai (yang dulu selalu ku panggil) Mas, selamat (tengah) malam. Aku menyelesaikan paragraf ini malam sekali. Entah, rasanya sulit sekali untuk memberanikan diri menyelesaikan paragraf ini.  Bagaimana kabarmu sekarang? Semoga selalu baik-baik saja ya. Begitupun aku, masih disini dan selalu (terlihat) baik-baik saja. Kau tak perlu khawatir (lagi) dengan keadaanku sekarang, memang aku pernah (sangat) terjatuh karenamu, namun sekarang aku bisa tersenyum kembali, bahkan tertawa terbahak, hebat bukan?

Berbicara masa depan, rasanya banyak sekali beban yang harus diselesaikan. (Ah, aku jadi ingat dulu; kau menceritakan segala hal padaku. Mengiming-imingi kebahagian, menawarkan tawa tanpa tangis, dan rupanya semua hanya rayuan untuk meredakan tangisku). Ya, perbedaan umur memang bukan patokan mutlak. Namun, kau tahu sendiri Ayahku takkan mengizinkanku menikah sebelum kuliahku selesai. (Lagi-lagi aku teringat dulu, saat kau mengajakku menjalin hubungan yang lebih serius, dibalik candaanmu malam itu, aku tau kau berniat mengajakku menikah. Aku berpikir lama sekali, memikirkan ini itu hingga menjelang pagi. Semalam suntuk aku membaca ulang chat darimu, dan tak menemukan jawaban yang harus ku utarakan padamu, sial). Jika bisa memilih, aku ingin dilahirkan ditahun yang sama dengan mu. Atau setidaknya satu atau dua tahun setelahmu. Lagi lagi, takdir berkata lain. Aku dilahirkan lima tahun setelahmu. Kalau sudah begini, aku bisa apa? Memutar balikan waktu rasanya tak mungkin.

Berat. Iya, berat sekali. Rasanya semua yang (dulu) ku bangun dengan susah payah, hancur hanya dengan beberapa kalimat darimu. Ah memang, kau memang lelaki pengecut. Pergi begitu saja saat aku sedang cinta-cintanya. Kau pergi tanpa mengucapkan kata pisah, begitu saja. Kau datang dan pergi semaumu. Kau pikir aku tempat singgah saat keadaanmu tak baik saja? Lalu setelah ku rawat dengan susah payah kau berlari menjauh? Hebat sekali, tak tahu malu.

Kau kira, waktu 2 tahun itu sebentar?  Kau kira aku (selalu) baik-baik saja selama 2 tahun itu? Kau tak tahu Mas, perlu ku jelaskan ribuan kali agar kau paham. Aku memang bukan orang yang banyak bicara, semuanya ku pendam tanpa berani berkata padamu; apapun. Aku selalu memasang senyum ketika bersamamu bahkan didepan banyak manusia. Aku selalu bilang baik-baik saja, namun Mas banyak pertanyaan yang ingin sekali ku tanyakan padamu, bahkan hingga kita berakhir pun tak satupun pertanyaan itu mendapat jawabannya. Lalu selama 2 tahun membersamaimu aku dianggap apa? Siapa aku dihatimu? Adakah aku dipikiranmu? Adakah rindu untukku? Aku; bukan siapa-siapa, dan tak berarti apa-apa. Aku (mungkin) hanya sebagian orang yang jadi tempat ceritamu, tak lebih dari itu. Iya, aku hanya boneka yang bisa kau mainkan sesukamu; yang bisa kau banting semaumu, yang bisa kau buang begitu saja.

Begini, perihal masa depan yang (dulu) selalu di(ku)semogakan. Rupanya hanya dongeng yang meninabobokan tangis semalam. Kita hanya kisah yang takkan pernah di bukukan. Kenangan (kita) hanya menjadi sejarah paling kelam. Semuanya tak berarti. Kau tahu? Aku ingin membuang semuanya, aku ingin menghancurkan segalanya. Jika bisa aku sama sekali tidak ingin mengenalmu; dekat denganmu; jatuh cinta padamu; lalu kau menyakitiku. Sungguh, jika waktu bisa ku putar; jika dulu teori Einstein tentang mesin waktu berhasil, aku ingin membalikan waktu dimana ketika aku mengenalmu aku bersikap biasa saja. Aku ingin ketika kau mengulurkan tangan, aku tak perlu meraih uluran itu. Harusnya, sejak awal aku tak perlu menaruh hati pada lelaki sebrengsek dirimu. Harusnya sejak awal kita hanya berkenalan lalu pergi tanpa harus menaruh hati.

--------------
Serang, Maret 2017

Ditulis oleh Perempuan yang (mengaku) sedang galau berat.
--------------


Kamis, 13 Juli 2017

Pada Hari Itu Aku Merasa Tujuan Kita Tak Lagi Sama

Pada hari itu aku seolah orang yang tidak mencintaimu. Aku menjadi orang yang dengan tega melepaskanmu. Aku tidak memilih menahanmu. Tidak menggenggam lengan dan memeluk tubuhmu. Membiarkanmu pergi begitu saja. Tidak melakukan apa-apa agar kamu tetap disini bersamaku. Semuanya seperti angin yang berembus semakin jauh. Serasa air yang mengalir semakin jatuh ke lembah-lembah yang lebih rendah. Aku bahkan tidak paham mengapa aku bisa begitu. Tidak mengerti, rasanya lega sekaligus takut tak terkira. Aku kebingungan dengan diriku sendiri.

Kamu harus pahami satu hal penting yang kurahasiakan. Tidak menahanmu pergi bukan berarti tidak lagi cinta . Hanya saja, terkadang lebih baik melepaskan daripada memaksakan terus bersama. Kita saat itu berada pada titik sama-sama jenuh kita merasakan hubungan yang hampa. Aku tidak bisa lagi merasakan manisnya cinta. Meski ku akui di dalam hatiku masih saja ada rasa. Namun, tidak sehebat pertama kali kita sepakat saling menjaga. Itulah barangkali yang membuat aku membiarkanmu peegi, yang membuat aku menjadi seolah tak punya hati pada hari itu.

Sekarang, semua hanya menjadi sesuatu yang sering datang kembali ke kepalaku. Terutama saat datang ke tempat dimana kamu dan aku pernah bersama dulu. Meski rasanya berbeda. Aku tidak menemukan kita lagi diaini. Selain kenangan yang kadang datang sebagai luka di hati, yang membawa senja dan gerimis yang pernah membasahi. Kini, semuanya terasa sangat berbeda. Walau sepenuh hati aku mencoba menikmatinya. Namun, rasanya tidak pernah terasa begitu indah.

Memang tak ada yang pasti. Bahkan, saat dua orang yang awalnya sepakat untuk saling mempertahankan pun bisa saja saling melepaskan. Seperti aku yang dulu mengatakan tidak akan berhenti mencintaimu. Nyatanya tidak melakukan apa-apa saat kamu memilih pergi hari itu. Karena terlepas dari rasa jenuh yang tidak kita urai. Ada perasaan lain yang membuat aku akhirnya melepaskanmu begitu saja. Dalam sekian lama kita bersama, aku merasa kita tak pernah bemar-benar bersama. Kita terjebak dalam cara yang berbeda. Sedikit demi sedikit itulah yang membuat kita saling jenuh. Dan, tak pernah membuatnya berubah menjadi perasaan jatuh cinta lagi. Kebersamaan nyatanya tak pernah benar-benar membuat kita sama perihal tujuan.

Boy Candra
"Senja, Hujan, dan Cerita Yang Telah Usai"


Sabtu, 01 Juli 2017

Akhir

Semuanya kini sudah berakhir. Jauh hari telah ku putuskan untuk mengakhiri semua dengannya. Sejak saat ku tahu ternyata aku bukan satu-satunya, nyatanya aku menjadi salah satunya. Iya, memang berat saat harus melepas semua yang ku genggam erat, sulit saat harus meninggalkan semua kenangan manis yang telah terukir, aku kesulitan menjalani fase itu. Aku harus menguatkan hati untuk terlihat seperti biasa. Menurutmu, berpura-pura bahagia saat keadaan paling buruk itu mudah? Menurutmu, tersenyum palsu disaat suasana (sangat) berantakan hal yang mudah untuk dilakukan?

Awalnya semua manis, memang (bagiku) lelaki selalu memberikan perlakuan dan perhatian manis saat berjuang mendapatkan saja. Selebihnya biasa saja. Sama seperti dia yang berperilaku manis saat awal dan ketika bersamaku saja, diluar sana saat tak bersamaku; saat aku dan dia terhalang jarak. Aku tak tahu apa yang dia lakukan dibelakangku, aku tak tahu dia sedang apa dan bersama siapa. Tapi satu hal, dia selalu memberiku kabar yang baik-baik saja. Saat berasamaku, seolah hanya aku ratu dihidupnya; memanggilku sayang, menatap mata lalu tertawa; sesederhana itu. Tapi yang tak aku tahu mungkin saja panggilan sayang nya bukan untukku saja, mungkin saja tatapan yang membuatku salah tingkah bukan padaku saja. Ya, aku baru menyadarinya sekarang.

Lalu sekarang, menurutmu yang paling tersakiti siapa? Dia? Lelaki yang dengan gampangnya menghempas perempuan yang sudah menemaninya bertahun-tahun? Lelaki yang dengan mudahnya tergoda oleh perempuan baru lalu meninggalkan perempuan yang sedang bersamanya? Lelaki yang dengan pengecutnya meninggalkan tanpa permisi, tanpa berkata, tanpa kata maaf? Iya? Sebentar, kamu tau rasanya dipaksa berhenti? Kamu tau rasanya ditinggalkan berlari saat aku sedang menemaninya berjalan? Menurutmu sakitnya seperti apa? Menurutmu lukanya separah apa? Menurutmu hatinya sehancur apa? Menurutmu bagaimana?

Ah, harusnya (dulu) aku bersikap biasa saja. Harusnya (dulu) aku tak memupuk hati terlalu dalam. Kalau sudah begini, aku yang repot sendiri. Hm, lucu sekali, dia yang memohon untuk tetap membersamai namun dia juga yang pergi. Banci!