Hai (yang dulu selalu ku panggil) Mas, selamat (tengah) malam. Aku menyelesaikan paragraf ini malam sekali. Entah, rasanya sulit sekali untuk memberanikan diri menyelesaikan paragraf ini. Bagaimana kabarmu sekarang? Semoga selalu baik-baik saja ya. Begitupun aku, masih disini dan selalu (terlihat) baik-baik saja. Kau tak perlu khawatir (lagi) dengan keadaanku sekarang, memang aku pernah (sangat) terjatuh karenamu, namun sekarang aku bisa tersenyum kembali, bahkan tertawa terbahak, hebat bukan?
Berbicara masa depan, rasanya banyak sekali beban yang harus diselesaikan. (Ah, aku jadi ingat dulu; kau menceritakan segala hal padaku. Mengiming-imingi kebahagian, menawarkan tawa tanpa tangis, dan rupanya semua hanya rayuan untuk meredakan tangisku). Ya, perbedaan umur memang bukan patokan mutlak. Namun, kau tahu sendiri Ayahku takkan mengizinkanku menikah sebelum kuliahku selesai. (Lagi-lagi aku teringat dulu, saat kau mengajakku menjalin hubungan yang lebih serius, dibalik candaanmu malam itu, aku tau kau berniat mengajakku menikah. Aku berpikir lama sekali, memikirkan ini itu hingga menjelang pagi. Semalam suntuk aku membaca ulang chat darimu, dan tak menemukan jawaban yang harus ku utarakan padamu, sial). Jika bisa memilih, aku ingin dilahirkan ditahun yang sama dengan mu. Atau setidaknya satu atau dua tahun setelahmu. Lagi lagi, takdir berkata lain. Aku dilahirkan lima tahun setelahmu. Kalau sudah begini, aku bisa apa? Memutar balikan waktu rasanya tak mungkin.
Berat. Iya, berat sekali. Rasanya semua yang (dulu) ku bangun dengan susah payah, hancur hanya dengan beberapa kalimat darimu. Ah memang, kau memang lelaki pengecut. Pergi begitu saja saat aku sedang cinta-cintanya. Kau pergi tanpa mengucapkan kata pisah, begitu saja. Kau datang dan pergi semaumu. Kau pikir aku tempat singgah saat keadaanmu tak baik saja? Lalu setelah ku rawat dengan susah payah kau berlari menjauh? Hebat sekali, tak tahu malu.
Kau kira, waktu 2 tahun itu sebentar? Kau kira aku (selalu) baik-baik saja selama 2 tahun itu? Kau tak tahu Mas, perlu ku jelaskan ribuan kali agar kau paham. Aku memang bukan orang yang banyak bicara, semuanya ku pendam tanpa berani berkata padamu; apapun. Aku selalu memasang senyum ketika bersamamu bahkan didepan banyak manusia. Aku selalu bilang baik-baik saja, namun Mas banyak pertanyaan yang ingin sekali ku tanyakan padamu, bahkan hingga kita berakhir pun tak satupun pertanyaan itu mendapat jawabannya. Lalu selama 2 tahun membersamaimu aku dianggap apa? Siapa aku dihatimu? Adakah aku dipikiranmu? Adakah rindu untukku? Aku; bukan siapa-siapa, dan tak berarti apa-apa. Aku (mungkin) hanya sebagian orang yang jadi tempat ceritamu, tak lebih dari itu. Iya, aku hanya boneka yang bisa kau mainkan sesukamu; yang bisa kau banting semaumu, yang bisa kau buang begitu saja.
Begini, perihal masa depan yang (dulu) selalu di(ku)semogakan. Rupanya hanya dongeng yang meninabobokan tangis semalam. Kita hanya kisah yang takkan pernah di bukukan. Kenangan (kita) hanya menjadi sejarah paling kelam. Semuanya tak berarti. Kau tahu? Aku ingin membuang semuanya, aku ingin menghancurkan segalanya. Jika bisa aku sama sekali tidak ingin mengenalmu; dekat denganmu; jatuh cinta padamu; lalu kau menyakitiku. Sungguh, jika waktu bisa ku putar; jika dulu teori Einstein tentang mesin waktu berhasil, aku ingin membalikan waktu dimana ketika aku mengenalmu aku bersikap biasa saja. Aku ingin ketika kau mengulurkan tangan, aku tak perlu meraih uluran itu. Harusnya, sejak awal aku tak perlu menaruh hati pada lelaki sebrengsek dirimu. Harusnya sejak awal kita hanya berkenalan lalu pergi tanpa harus menaruh hati.
--------------
Serang, Maret 2017
Ditulis oleh Perempuan yang (mengaku) sedang galau berat.
--------------
0 komentar:
Posting Komentar