Jumat, 09 November 2018

Tentangmu

Segala yang ku tulis memang tak selalu tentang kamu. Ada beberapa bagian yang bukan kamu. Tulisan itu tentang nya, tentang seseorang yang menyakitiku begitu banyak. Seseorang yang membuat semuanya berantakan, dan meluluh lantakan segalanya.

Kali ini tentangmu, pria yang ku kenal sejak sekolah menengah pertama. Yang entah mengapa hingga detik ini masih sering ku pikirkan. Yang hingga sekarang masih ku cari tahu kabarnya. Yang hingga sekarang masih ku rindukan berkali-kali.

Tuan, aku rindu. Walau tak banyak kenangan tentang kita bahkan mungkin tak ada, aku tetap rindu. Bagaimana kabarmu? Baik-baik lah selalu. Karena kabar bahwa kau selalu baik-baik saja seperti energi baik untukku. Aku tak perlu mengkhawatirkan perihal kesehatanmu. Dengan begitu aku akan baik-baik saja.

Tuan, ingatkah dulu saat semuanya masih baik-baik saja? Kita pernah berada di masa sebahagia itu. Tertawa bersama untuk hal yang tak seberapa. Iya, kita pernah dekat walau akhirnya tak pernah merekat. Kita hanya sebatas kisah yang akan usang dikemudian hari. Dilupakan, dan menghilang selamanya.

Tuan, ada hal yang hingga kini tak bisa aku mengerti. Kita yang diawal sedekat nadi, namun berakhir sejauh matahari ke bumi. Tetapi sejauh apapun jarak matahari ke bumi, tetap saja matahari selalu ada walau terkadang menghilang lalu kembali lagi. Sama seperti kamu, menghilang dan kembali lagi.

Tuan, sempat ku ingin mengirim pesan padamu. Tapi ku urungkan kembali. Aku takut pesan itu akan mengganggumu, lebih tepatnya aku takut pesan itu takkan kamu gubris. Aku kesulitan menanyakan kabarmu langsung, bahkan hanya sekedar Hai saja, tak pernah mudah bagiku. Butuh keberanian luar biasa. Dan aku tak pernah bisa. Bodoh sekali bukan?

Sudah terlihat menyedihkan?

Mungkin kedekatan yang pernah terjadi, tak banyak orang tahu. Iya, kita hanya sekilas yang begitu membekas. Maksudku, untukmu (mungkin) tak pernah ada artinya. Berbeda denganku, semuanya masih membekas hingga kini. Semuanya terbukti dengan aku yang masih menyimpan fotomu; aku yang masih mencari tahu segalanya dari lini masa mu.

Pernah suatu ketika, mereka bertanya siapa kamu. Perlu kamu tahu, aku kesulitan menjawabnya. Aku tak tahu harus menjelaskan siapa kamu. Jadi ku jelaskan saja bahwa kamu hanya seseorang yang pernah dekat di masa lalu dan masih mendekap hingga sekarang.

Sudah terlihat menyedihkan belum?

Tuan, semoga ada keajaiban hingga kamu menemukan tulisan ini. Tulisan yang ku buat dengan sangat hati-hati. Bahkan sebagian dengan air mata dan luka yang hampir menganga. Baca lah sampai akhir, hingga kau mengerti aku masih menyimpan rindu.


Rabu, 10 Oktober 2018

Saung Sate Mang Udjo

Sore itu, aku memang sengaja mendatangi saung sate yang dulu sering aku dan dia datangi. Setiba disana, tanpa bertanya apa yang ku pesan, Mang Udjo langsung menyajikan sate yang dulu biasa ku pesan.

Dengan suasana yang cukup ramai, Mang Udjo malah duduk menemaniku makan. "Mas nya kemana? Kenapa gak diajak?" Tanya nya. "Ah, udah enggak sama dia lagi Mang, udah 3tahun" jawabku. Mang Udjo tertawa, dan bilang "Mas nya juga selalu kesini kalau pulang. Dan selalu sendiri, kadang sama Ibu. Kalau ditanya kenapa gak bawa pacar, dia selalu jawab doain aja ya Mang sama yang dulu sering kesini."

Aku kembali menyantap sate dan Mang Udjo kembali melayani pembeli. Sesekali aku melihat sekeliling tempat ini, tak ada yang berubah, tak ada yang berganti. Semuanya masih sama seperti pertama kali saat tempat ini aku datangi.

Sepertinya Mang Udjo tahu kalau aku merindukan seseorang. Tanpa basa basi, lagu Mirror milik Justin Timberlake diputar. Lagu yang menjadi andalan dia bernyanyi sembari memainkan gitar saat mengajakku makan disini.

Entah sengaja atau apa, sepertinya Mang Udjo masih ingat dan menyimpan lagu apa saja yang dulu sering membuat gaduh saungnya. Mulai dari Mirror, Marry Your Daughter, That Man Cant Be Moved, Now and Forever, Fall For You, Need You Now, dan puluhan lagu yang berhasil mengobrak abrik rasa rinduku.

Waktu merangkak sangat cepat, tak terasa aku hampir menghabiskan waktu 3 jam duduk disaung ini. Menyantap sate, tertawa dengan Mang Udjo, dan melihat lalu lalang kendaraan. Semuanya terasa membosankan, berbeda dengan dulu. Seberapa lama pun duduk di saung ini, tak sedikit pun bosan datang.

Hari semakin gelap, aku pamit pulang pada Mang Udjo. Dengan senyum andalan nya, mang Udjo berkata "Hati-hati ya neng, nanti mamang bilangin sama Mas nya kalau kamu kesini", aku hanya tersenyum dan bergegas pulang.

Disepanjang perjalanan, aku membayangkan betapa bahagianya jika tadi menghabiskan waktu bersama dan betapa bahagia jika tadi tertawa bersama. Andai masih bersama, andai dulu tak berjalan masing-masing, andai kamu disini. Ah, lamunanku terlalu tinggi.

Mas, kamu perlu tahu. Bahwa hingga kini, kamu masih menjadi aktor utama dalam setiap tulisanku. Kamu masih menjadi nomor satu di kepalaku. Dan aku masih merindukanmu.


Tak Perlu Menghiraukan Yang Menertawakanmu

Apa yang di banggakan dari fisik yang kau punya? Apakah dengan fisik yang menurutmu ideal atau semacamnya, kau dapat memiliki semua yang kau inginkan? Apakah dengan fisik yang bagimu indah atau semacamnya, kau dapat terkenal sejagat raya? Tentu tidak, sayang.

Semenarik apapun fisik mu saat ini, akan kalah oleh waktu. Fisik yang ideal yang kau banggakan itu hanya mampu bertahan 10-20 tahun saja. Dihari nanti, kulit kencangmu akan mengendur, wajah cantikmu akan keriput, tubuh idealmu akan berubah, tenagamu akan berkurang, bahkan takkan selincah hari ini.

Setiap manusia berbeda, sayang. Memiliki tubuh ideal, siapa yang tak mau? Menjadi cantik dan tampan, siapa yang tak ingin? Semua manusia pasti menginginkannya. Dan kau tak berhak menghakimi fisik seseorang. Begitupun dengan penampilannya. Karena memang seperti itu Tuhan menciptakannya. Kau tak harus mengejek si gendut, si kurus, si hitam, si putih, si pendek, dan lain sebagainya. Bagaimana jika yang kau caci seperti itu sakit hati dan mendoakan hal buruk untukmu? Kau akan terima? Tentu tidak, kan?

Sayang, keluarganya pun menerima ia apa adanya. Tak mempermasalahkan keadaannya. Lantas, kau yang bukan siapa-siapa, yang hanya mengenalnya sekilas, yang belum tentu tahu segalanya. Menggunakan keberanian macam apa dengan tega menghakiminya? Lancang sekali menghina 'mutiara' yang dibanggakan oleh keluarganya.

Mulailah saling memahami dan saling menghargai. Apa sebegitu susahnya untuk saling menerima keadaan? Jangan jadi manusia egois, merasa kau segalanya. Begini, hidup selalu berputar sayang. Kau tak mungkin selamanya berada dipuncak, pun ia yang kau caci takkan berada dibawah selalu.

Introspeksi diri. Jangan menghakimi seenaknya. Fisik dan penampilannya bukan urusanmu. Seperti apapun ia, takkan mengganggu kehidupanmu. Dan apapun tentangnya, tak mungkin merusak bahagiamu. Daripada kau kelimpungan menghakimi, coba untuk berkaca dahulu. Apakah kau lebih baik dari yang kau hina? Sesekali, merenunglah sebentar. Pikir lagi sebelum berbicara, barangkali ucapan yang akan kau ungkapkan dapat menyakiti seseorang. Atau pikirkan jika kau berada diposisi yang sekarang kau hina.

#SelfReminder


Minggu, 30 September 2018

Terimakasih Untuk Waktu Yang Tak Sebentar

Untuk pria yang dulu pernah berjanji akan menungguku hingga akhir. Bagaimana kabarmu sekarang? Semoga selalu baik-baik saja tanpa aku. Semoga selalu bahagia dengan perempuan yang kau perjuangkan dengan cara melepasku.

Untuk pria yang dulu pernah berkata takkan meninggalkan. Bagaimana dengan pekerjaanmu sekarang? Ku lihat, kau mulai terbiasa dengan jadwal kerjamu yang padat. Seringkali (dulu) kau mengeluh karena kelelahan. Semoga hari ini kau mulai terbiasa dengan segala rutinitasmu tanpa aku. Semoga perempuan yang kau bersamai ketika masih denganku, menjadi pendengar setia disetiap ceritamu.

Untuk pria yang dulu pernah berjanji untuk selalu membersamai. Bagaimana dengan hidupmu sekarang? Seberapa bahagia saat meninggalkanku begitu saja? Pernahkah berpikir ingin kembali? Mengulang segala hal yang pernah terjadi. Mengembalikan yang seharusnya tak perlu dibuang. Semoga perempuan yang (dulu) kau sembunyikan ketika bersamaku, tak pernah melakukan hal yang sama padamu.

Untuk pria yang (dulu) selalu menyempatkan menemuiku diwaktunya yang padat. Bagaimana dengan hobby mu sekarang? Masihkah berkeliling puncak nusantara? Jika iya, tidakkah rindu dengan rewelnya aku yang tak ingin ditinggal? Tidakkah rindu dengan aku yang (dulu) sempat kau ajak ke puncak Rinjani dan Kerinci? "Jadi gimana, sayang?" katamu. "Izin mama ya, aku takut kambuh kalau terlalu capek" jawabku. Kau menghela napas, "Iya, kan ada aku yang jagain kamu" jawabmu dengan tersenyum.

Untuk pria yang (dulu) betah duduk berlama-lama denganku. Bagaimana dengan kuliahmu sekarang? Aku lihat kau menggandeng perempuan yang kau temui diam-diam dengan berbohong padaku kala itu. Katamu, aku diminta untuk datang diwisudamu pertengahan tahun (2017) kemarin. Nyatanya, aku tak pernah datang dihari itu, karena posisiku telah digantikan oleh dia. Perempuan yang memasang senyum bahagia dengan merangkulmu.

Untuk pria yang (dulu) rela diguyur hujan hingga basah kuyup hanya untuk menemuiku. Tidakkah rindu dengan "Pojok Busana"? Tempat yang kita datangi untuk membeli pakaian. Kau memintaku untuk memilihkan pakaian yang akan kau kenakan. Aku rindu. Bagaimana dengan kabar Ibumu? Semoga ibumu selalu diberi kesehatan, aku tetap mendoakannya hingga sekarang. Sesekali, setiap aku pulang dari libur kuliah. Aku bertemu dengan Ibumu, hangatnya masih sama. Ibumu masih mengingat siapa aku, dan masih menanyakan bagaimana kabarku.

Untuk pria yang (dulu) sempat malu bertemu Ayahku. Yang entah dengan keberanian apa datang ke rumahku, tertawa bersama Ayahku. Bagaimana dengan dengan kebiasaan tidurmu yang selalu lewat pukul dua pagi? Pernahkah ada rasa rindu padaku? Rindu ditemani olehku hingga seringkali aku tertidur lebih dulu? Bagaimana dengan perempuan yang kau banggakan dibelakangku, apakah ia kuat menemanimu hingga pukul dua pagi bahkan lebih?

Untuk pria yang (dulu) pernah menggenggam erat tanganku. Bagaimana dengan hari-harimu sekarang? Pernahkah kau mengingat tempat dan jalanan yang (dulu) pernah kita lewati? Kursi pojok cafe dibilangan Kota Serang, Jajanan kaki lima, dan hal lain yang membuatmu mengingatku. Seringkali, setiap aku mendatangi tempat itu, aku kembali mengingat kamu. Betapa kita pernah ada di masa yang bahagia. Dulu sekali.

Andai bisa, aku tak ingin kita berakhir sesedih ini. Aku ingin kita terus bersama hingga nanti. Namun, sekuat apapun aku berjuang, jika bukan dengan kamu bahagiaku. Pada akhirnya akan terpisah juga. Aku tak menyesali apapun, hanya saja mengapa bukan aku tujuan akhirmu? Mengapa harus aku yang ditinggalkan? Mengapa kita yang harus berakhir?

Untuk yang terakhir.
Mas, terimakasih untuk waktu yang tak sebentar. Aku tak pernah menyesal memberimu cinta yang utuh, meski mungkin kau mencintaku hanya separuh. Aku bahagia di waktu yang tak sebentar kemarin, bagaimanapun kau pernah menemaniku di segala suasana. Kita pernah menjadi dua manusia yang bahagia ketika bersama, saling merindu ketika tak bertemu. Kita pernah berada di masa menyenangkan seperti itu.

Entah dengan keajaiban apa, semoga tulisan ini akan kau baca. Dengan begitu, kau akan tahu. Kau pernah ku cintai dengan sangat. Kau pernah ku perjuangkan dengan terlalu.

Tolong, bahagia selalu.
Dari perempuan yang hingga kini masih merindukanmu.


Jumat, 14 September 2018

Mengapa Harus Aku?

Bagiku membersamai kamu selama bertahun-tahun, bukanlah waktu yang sebentar. Banyak hal baik dan kenangan manis yang terjadi. Dan mungkin akan sulit untuk dilupakan, nantinya.

Menyudahi hubungan yang sedari awal memang baik-baik saja, bukanlah hal yang mudah. Aku berperang melawan hati dan logika. Bertanya pada diri sendiri berkali-kali, kenapa bisa terjadi? Ada yang salah denganku? Atau sudah menemukan titik jenuh yang membuat muak jika terus dipertahankan? Mungkin iya. Aku tak pernah tahu, hingga kini.

Ku pikir semuanya akan tetap baik-baik saja hingga akhir. Ternyata, kamu kelelahan sebelum waktunya. Aku ditinggalkan tanpa penjelasan apapun. Bahkan hingga kini, alasan yang membuatmu pergi pun aku tak pernah tahu. Yang ku tahu, kamu hanya berpesan untuk mencari seseorang yang lebih baik darimu. Memangnya menghabiskan waktu bertahun-tahun bersamaku kamu merasa bukan orang baik? Lantas, yang membersamai ku kemarin siapa? Kamu memakai topeng apa untuk berada di sisiku? Memangnya kamu tak menyadari, jika aku membersamaimu dengan sungguh? Memangnya kamu tak mengerti, jika aku mencintaimu tidak separuh?

Saat ingin mengakhiri semua ini, kamu berpikir atau tidak? Kenapa mudah sekali mengakhiri sesuatu yang diperjuangkan dengan sungguh? Memperjuangkanmu selama bertahun-tahun, tak pernah mudah bagiku. Aku lebam disegala sisi, aku patah disegala ruang. Kamu tak pernah tahu, karena aku tak pernah (berani) bercerita padamu. Kamu hanya tahu, membersamai mu aku selalu bahagia. Tapi kau salah besar, sayang. Yang terlihat baik-baik saja diluar, belum tentu baik-baik juga didalamnya.

Hal lain yang tak pernah ku mengerti hingga kini adalah, kamu pergi begitu saja. Tanpa pernah menjelaskan apa salahku, mengapa kita berakhir, dan mengapa kita menjadi manusia yang saling asing pun aku tak pernah tahu apa alasannya. Terkadang aku merenung, lama sekali. Mengapa ini bisa terjadi? Kenapa harus terjadi pada rasa yang sedang ku perjuangkan dengan sungguh? Kenapa yang tersakiti harus aku?

Aku tersadar, mungkin ini cara Tuhan menyelamatkan ku dari seseorang yang memang bukan untukku. Aku hanya ditugaskan menemaninya sebentar, bukan untuk selamanya.


Jumat, 24 Agustus 2018

(Bukan) Mati Rasa

"Masih betah sendiri aja, kapan cari yang baru?"
"Move on dong, jangan masalalu aja yang dipikirin"
"Dia aja bisa ketawa pas ninggalin Lo, sedangkan Lo disini terpuruk begini. Ngapain?"

Aku masih mendengarnya hingga kini. Tak bosan kah menanyakan hal yang sama berulang kali? Aku betah menyendiri pun tak merugikan siapa-siapa kan? Tak perlu diributkan.

Bagiku, melepaskan masalalu tak selalu mencari yang baru. Karena hati setiap manusia berbeda dalam hal melupakan. Belum sepenuhnya melupakan pun bukan berarti tak bisa melupakan. Hanya waktunya belum tepat.

Aku tahu, mereka menyayangiku dengan berkata seperti itu. Memang tidak salah, tapi aku bukan perempuan yang mudah menerima hal baru. Aku harus beradaptasi, menyesuaikan dengan keadaan, bahkan susah payah untuk memulai sesuatu, tak seperti perempuan lain yang dengan mudah beradaptasi dengan hal baru. Karena setiap aku membersamai seseorang, aku tak pernah setengah hati. Aku memberinya rasa yang utuh, semuanya ku lakukan dengan sungguh.

Begini, perihal membuka hati. Perempuan sepertiku tak mau terburu-buru menentukan. Dia cocok atau dia tak cocok denganku. Bukan seperti itu. Aku tak ingin hal menyakitkan seperti dulu, terulang lagi. Cukup sekali. Karena setelah ratusan hari terlewati pun, aku masih ingat bagaimana sakitnya ditinggalkan dengan tega. Bahkan dengan banyaknya yang menghampiri, tak lantas membuatku membuka hati.

Sungguh, aku bukan mati rasa dengan cinta. Siapa yang tak ingin jatuh cinta lagi setelah disakiti? Siapa yang tak ingin dibersamai seseorang lagi? Akun ingin. Tapi tak semudah yang dipikirkan. Ada banyak hal yang harus ku pertimbangkan. Salah satunya, hatiku belum benar-benar pulih. Ia masih lebam, terkoyak dan berdarah-darah. Aku tak mungkin memberi hati yang tak layak pada seseorang yang akan membersamaiku. Meski tak pernah benar-benar utuh kembali, setidaknya ia pulih dari luka.

Sudah ku bilang, butuh waktu cukup lama untuk menyembuhkan hatiku. Jika memang sudah waktunya, dan memang dia pria terbaik yang Tuhan berikan, aku akan menerima nya.

Maaf, bukan tak ingin menerima siapapun. Atau terkesan tak bisa melupakan masa lalu. Aku butuh waktu untuk memulihkan segalanya.


Bukan Seperti Ini Caranya Mengakhiri

Aku tak pernah menyalahkan siapapun.
Kau meninggalkanku dengan begitu tega pun, tak masalah bagiku.
Kau melanjutkan kisah ini dengan perempuan pengganggu itu pun terserah.
Lakukan sesukamu.

Bukan seperti ini caranya mengakhiri sesuatu.
Bukan dengan tindakan bodoh seperti ini.
Kau masih bersamaku, namun sangat berani membersamai yang lain.
Sudah sehebat apa, kau melakukan itu?

Tak bisakah bicara baik-baik, saat memutuskan sesuatu?
Tak seperti ini, berlalu tanpa penjelasan apapun.
Saat ku tanya mengapa, menoleh pun kau tidak.
Memangnya kau siapa, melakukan hal setega itu?

Setidaknya, lepaskan aku dulu.
Lepaskan segala tentang kita.
Tidak seperti ini, mencari perempuan lain saat masih bersamaku, lalu dengan mudah melepaskanku.

Apakah segala perjuangan yang ku lakukan tak pernah berarti?
Apakah sia-sia saja yang ku lakukan selama ini?
Kau lelaki pengecut.

Ingatlah, bahwa menjadi buruk adalah suatu pilihan.
Dan itu pilihanmu.


Segala Hal yang Membuatku Mengingatmu

Sesekali aku masih mengingatmu dipenghujung malam. Bukan sesekali, maksudku seringkali aku masih mengingatmu hingga kini. Tetap saja, pikiranku masih kau kuasai.

Aku kembali membuka galeri, menemukan fotomu bahkan foto kita yang masih tersimpan dengan rapi. Aku masih ingat kapan dan dimana foto itu diambil. Benar katamu, aku memang hebat dalam hal mengingat.

Di malam sedingin ini, aku kembali membuka percakapan manis di Twitter 5 tahun lalu. Tentang percakapan abstrak yang kita lakukan hingga tengah malam. Betapa kita pernah berada di masa yang menyenangkan. Kita pernah sebahagia itu.

Setiap libur kuliah, aku selalu singgah di kotamu. Aku sempatkan mengunjungi tempat yang dulu pernah kita datangi. Semuanya masih sama, tak ada yang berubah, tak ada yang berganti. Yang berubah hanya kita, yang berganti hanya kita, tidak dengan tempat ini.

Hingga kini, entah kenapa kau masih menguasai hati dan pikiran. Walau banyak yang datang menawarkan bahagia, yang dengan sekuat tenaga mencoba memenangkan cinta, yang berjuang penuh menyembuhkan dan merawat luka, yang tak pernah bosan membuat tertawa, dan mungkin yang melakukan segala hal untuk merebut hati. Tetap saja, hatiku tetap terkunci.

Pernah suatu ketika, saat aku dan pria yang sedang dekat denganku singgah di suatu tempat dan memesan makan. Kau adalah yang pertama ku ingat saat melihat potongan mentimun di makanan yang disajikan. Aku bergumam "pasti jika itu kau, kau akan langsung menutup hidung dan meletakkan mentimun dipiringku."

Pernah suatu ketika, saat hujan deras mengguyur kotaku. Kau masih yang pertama ku ingat, karena hujan mengingatkan ku tentang kau yang menarikku dari kerumunan saat berteduh dan berkata "Jangan takut hujan, hujan itu menenangkan" Terkadang, aku menangis saat mengingat semua kenangan itu.

Mas, mungkin kau takkan membaca tulisan ini tapi jika dengan segala keajaiban kau menemukan tulisan usang ini. Ketahuilah, kau pernah ku cintai dengan sangat. Kau pernah ku perjuangkan dengan sungguh.


Aku masih perempuan yang pertama kali kau kenal. Walau tak utuh, rasaku tetap ada.


Kepada Perempuan yang Sedang Berada di Titik Jenuh

Kau pernah merasa jenuh? Aku sedang. Ternyata seperti ini rasanya. Melakukan apapun, kau tak tenang. Selalu merasa cemas, bahkan untuk memejamkan mata pun sering merasa gundah. Apa yang salah? Atau banyak masalah? Mungkin iya.

Hubungan bertahun-tahun pun tak menjamin rasa jenuh takkan ada. Ia seperti bom waktu, yang semakin lama semakin membuatmu takut. Perihal hubungan yang sedang kau jalani sekarang, sebahagia apa kau dengannya? Ku tanya sekali lagi, dengannya kau menemukan kenyamanan? Menghabiskan waktu bersamanya apakah kau tenang?

Aku, kau, dan semuanya pun tahu. Bahwa hubungan yang baik adalah keduanya saling terbuka. Tak ada yang di tutupi, apapun. Namun kau harus tahu betul, bahwa ada beberapa bagian dari masa lalu nya yang tak ingin ia ceritakan pada dunia, bahkan padamu; kekasihnya. Tak ada yang salah, tentang kau yang ingin mengetahui masalalu nya, dan tentang ia yang tak ingin kau terlalu masuk di masa lalu nya.

Pernah berpikir jika menjadi kekasihnya, kau harus tahu segala tentangnya? Itu tak salah, namun tak baik. Menuntut dijadikan prioritas, memangnya kau sehebat apa? Merengek selalu meminta temu, memangnya kau siapa? Meminta untuk selalu ada, memangnya kau sudah melakukan apa? Kau hanya kekasihnya, belum menjadi pendamping hidup nya.

Kau tahu, perempuan manapun tak ingin lelaki yang ia perjuangkan mengkhianatinya. Apalagi tak menepati janji yang pernah dibuat. Lelaki seperti apa, untuk menepati janji saja tidak bisa? Sudah sehebat apa, hingga dengan tega menyakiti anak perempuan yang dibahagiakan mati-matian oleh ayah nya? Kau ingin disebut lelaki pengecut?

Harusnya, semakin lama kau menghabiskan waktu dengannya. Kau semakin mengenal perempuan yang membersamaimu bertahun-tahun seperti apa.  Kau seharusnya tahu, apa yang ia sukai dan tidak disukainya. Jika kau tak mengetahuinya sama sekali, selama kurun waktu itu kau menghabiskan waktu dengan siapa? Kau tak memakai hati membersamainya? Hanya formalitas saja karena ia terus menerimamu di kondisi terburukmu sekalipun?

Begini, tentang janji yang tak kunjung kau tepati. Sebenarnya perempuan kecewa akan hal itu, jika memang tak berniat menepati janji, dari awal kau tak perlu menjanjikan apapun. Kau hanya perlu membersamainya disegala keadaan, dan tak menutupi apapun. Itu cukup baginya.

Lalu sekarang kau mendadak berbeda pada perempuan yang rela terjaga demi menemanimu, atau menunggumu pulang kerja. Yang kau inginkan apa sebenarnya? Ketika kau menyakiti perempuan, apakah kau tak ingat Ibu mu? Adik atau kakak perempuanmu? Jika mereka disakiti juga, kau akan bagaimana? Atau mungkin kau terbiasa untuk menyakiti perempuan?

Teruntuk perempuan yang dikhianati. Sudahi saja jika membersamai nya hanya membelenggu segala kegiatanmu. Akhiri saja jika bersamanya hanya membuang waktumu. Kau tak pantas diperlakukan seperti itu, karena cinta pertama mu (Ayah) saja tak pernah melakukan itu padamu. Berakhir dengannya, bukan akhir dari segalanya. Kau pantas diperlakukan sebaik mungkin.

Melangkahlah meski tak bergandengan lagi. Tunjukan bahwa kau perempuan hebat. Dengan atau tanpanya, kau pasti akan bahagia.


Jumat, 25 Mei 2018

Meski Tak Lagi Utuh, Rasaku Tetap Ada

Sesekali aku masih mengingatmu dipenghujung malam. Bukan sesekali, lebih tepatnya seringkali aku masih mengingatmu hingga kini. Tetap saja, pikiranku masih kau kuasai. Aku kembali membuka galeri, menemukan fotomu bahkan foto kita yang masih tersimpan dengan rapi. Aku masih ingat kapan dan dimana foto itu diambil. Benar katamu, aku memang hebat dalam hal mengingat. Lagi, aku kembali membuka percakapan manis di Twitter 5 tahun lalu. Tentang percakapan abstrak yang kita lakukan hingga tengah malam. Betapa kita pernah berada di masa yang menyenangkan. Kita pernah sebahagia itu. Sesekali, setiap aku singgah di kotamu. Aku sempatkan mengunjungi tempat yang dulu pernah kita datangi. Semuanya masih sama, tak ada yang berubah, tak ada yang berganti. Yang berubah hanya kita, yang berganti hanya kita, tidak dengan tempat ini. Hingga kini, entah kenapa kau masih menguasai hati dan pikiran. Walau banyak yang datang menawarkan bahagia, yang dengan sekuat tenaga mencoba memenangkan cinta, yang berjuang penuh menyembuhkan dan merawat luka, yang tak pernah bosan membuat tertawa, dan mungkin yang melakukan segala hal untuk merebut hati. Tetap saja, hatiku tak terbuka dengan mudah. Pernah suatu ketika, saat aku dan pria yang sedang dekat denganku singgah di suatu tempat dan memesan makan. Kau adalah yang pertama ku ingat saat melihat potongan mentimun di makanan yang disajikan. Aku bergumam “Pasti jika itu kau, kau akan langsung menutup hidung dan meletakkan mentimun di piringku”. Pernah suatu ketika, saat hujan deras mengguyur kotaku. Kau masih yang pertama ku ingat, karena hujan mengingatkanku tentang kau yang menarikku dari kerumunan saat berteduh dan berkata “Jangan takut hujan”. Terkadang aku menangis sendiri saat mengingat semua kenangan itu. Mas, mungkin kau takkan membaca tulisan ini. Tapi jika dengan segala keajaiban kau menemukan tulisan usang ini. Ketahuilah, kau pernah ku cintai dengan sangat. Kau pernah ku perjuangkan dengan terlalu. Aku masih perempuan yang pertama kali kau kenal. Walau tak lagi utuh, rasaku tetap ada.

Minggu, 25 Maret 2018

Tentang Masa Lalu

Berbicara masa lalu, bagiku bukan sesuatu yang tepat untuk dijadikan bahan candaan. Tidak juga untuk ditertawakan. Bagi seseorang, masa lalu tetaplah masa lalu. Semenyenangkan apapun, itu hanya masa lalu. Tidak menyenangkan pun juga tetap masa lalu.

Jangan menghakimi masa lalu seseorang. Karena kau takkan mengerti bagaimana seseorang yang kau tertawakan dengan susah payah nya melupakan segala hal dimasa lalu. Kau takkan paham seberdarah apa yang kau tertawakan melepaskan yang dulu ia genggam. Kau juga belum tentu mampu bangkit lagi seperti yang kau tertawakan.

Jangan merasa masa lalumu baik-baik saja. Kau takkan tahu masa depan seperti apa yang akan terjadi. Jangan merasa sekarang kau baik-baik saja, lalu dengan angkuhnya menertawakan masa lalu seseorang.

Begini, jika keadaan seseorang yang kau tertawakan berbalik padamu, bahkan sedang atau akan terjadi padamu. Apa yang akan kau lakukan? Kau ingin ditertawakan juga? Kau ingin masa lalumu dihakimi juga? Dijadikan candaan juga? Tentu tidak kan?

Pikirkan, sayang. Hati seseorang yang sedang kau tertawakan. Jika yang kau tertawakan ikut tertawa juga. Menurutmu, ia senang? Menurutmu ia menikmati candaanmu? Tidak, sayang. Kau salah besar jika menganggapnya seperti itu. Belum tentu jika kau mengalaminya, kau mampu bangkit lagi. Belum tentu bisa tertawa lagi. Belum tentu hari-hari ke depan akan menyenangkan juga.

Jika kau mengetahui masa lalu seseorang. Lebih tepatnya kau tahu hal apa saja ia perjuangkan agar bisa ceria lagi. Lebih baik diam saja. Tak ada untungnya menertawakan masa lalu seseorang. Tak baik. Mungkin bagimu menyenangkan, namun bagi yang ditertawakan sama saja dengan menabur garam diatas luka yang belum mengering. Bayangkan seberapa perihnya.

Berkacalah dahulu sebelum menertawakan masa lalu. Karena, bisa saja dimasa depan hal yang ditertawakan dengan keras akan berbalik padamu. Dan ingat lagi, karma selalu kembali pada orang yang betah membuat seseorang terluka. Dengan luka yang sama atau lebih.

— Perempuan yang sampai sekarang (selalu) ditertawakan karena masa lalu nya.


Senin, 05 Maret 2018

Kepada Tuan...

Tuan, bagaimana cara melanjutkan hidup setelah menghancurkan hidup seseorang? Adakah penyesalan sedikit saja? Adakah rasa ingin meminta maaf?

Tuan, bagaimana cara tertawa terbahak setelah membuat seseorang menangis semalaman? Tidakkah terpikir bahwa yang kau buat menangis hingga matanya sembab itu pernah kau buat tertawa juga.

Tuan, bagaimana cara bersikap biasa saja setelah menggoreskan banyak luka di hidup seseorang? Masih bisa bahagiakah setelah itu? Setelah banyak luka yang kau berikan?

Tuan, bagaimana cara menjalani segalanya dengan damai setelah membuang apa yang dulu dengan keras kau pertahankan? Mengapa mudah sekali membuang seseorang yang membersamaimu?

Tuan, bagaimana cara membuang memori tanpa harus menyiksa diri? Haruskah dengan mencari pengganti secepat yang kau lakukan? Lalu, apa kabar dengan aku yang memang sulit untuk memulai kembali?

Tuan, bagaimana cara termudah untuk pergi tanpa sepatah kata? Menjauh perlahan kah? Membuatnya membenci kah? Atau meninggalkan tanpa ucapan perpisahan? Bagiku, salah satu atau ketiganya sama. Sama-sama membuat perih tak berujung.

Lalu, bagaimana denganku? Dengan segala waktu yang terbuang begitu saja? Bagaimana dengan luka yang tersisa? Kau lucu sekali, tak pandai membuat luka mengering. Namun, pandai sekali membuat luka baru. Bahagialah.  Bahagiaku bukan denganmu, pun sebaliknya.


Serang, 5 Maret 2018
Yuki


Rabu, 21 Februari 2018

Hati Bukan Tempat Bermain

Aku; Pernah mengupayakan sebelum akhirnya dihempaskan. Pernah menggenapkan sebelum akhirnya ditunggalkan. Pernah memperjuangkan sebelum akhirnya dipaksa berhenti. Pernah membersamai sebelum akhirnya diminta pergi.

Lantas pada bagian mana yang membuat ragu? Pada hal apa yang membuat ingin berlalu? Pada kondisi seperti apa yang membuat pindah haluan? Pada celah mana yang membuat semuanya terlihat salah? Pada hati seperti apa yang sebenarnya ingin dituju?

Jika tak bersungguh-sungguh dengan hati, lakukan dengan benar. Tidak begini. Tidak dengan cara rendah seperti ini. Masih bersama namun berani membersamai yang lain. Merasa sangat hebat melakukan itu? Sungguh, fatal sekali. Hati bukan tempat untuk bermain, sayang. Kalau ingin bermain, silahkan bergabung saja dengan balita.

Pergilah dengan cara yang benar. Jika bertamu dengan sopan, haruskah pulang seperti hantu? Setidaknya berpamitan sebentar dengan yang dikunjungi.

-----
Terlambat.
Rumah yang pernah dikunjungi, kini tertutup rapat untuk siapapun. Mungkin akan terbuka untuk seseorang yang baru. Entah kapan~


Senin, 22 Januari 2018

Kepada Rasa Yang Belum (Pernah) Bertemu

Hati, apa kabar hari ini? Sudah membaik kah? Atau masih terasa nyeri karena luka yang teramat menyakiti dimasa lalu? Masih lebam kah? Semoga tidak ya. Semoga sekarang semuanya baik-baik saja, kembali normal seperti semula; bicaraku di depan cermin.

Setelah hampir setahun bergelut dengan segala macam rasa; setelah hampir setahun berperang melawan nyeri yang menyakitkan; setelah hampir setahun mencoba melupakan segalanya; bagaimana? Apa yang kau rasa (hati)?

Detik ini, aku tahu. Hatiku belum sepenuhnya pulih. Kupikir masih terdapat goresan luka yang membekas dan sulit dihilangkan. Aku saja tak tahu kapan hatiku benar-benar pulih. Mungkin, akan memakan waktu yang cukup lama. Karena luka yang ku dapat, membuat lebam dan terkoyak.

Detik ini, aku tak mengerti rasa apalagi yang kurasa. Aneh sekali, begitu menggebu dan sulit dikendalikan. Bertemu saja belum, bertatap mata dengan nya saja tak pernah, apalagi berbicara berdua dengan intens. Aku hanya mengenalnya di sosial media. Dan sesekali saling menanyakan kabar. Ah, itu saja sudah membuatku gila.

Kurasa, aku tak perlu terlalu serius dengan ini. Aku takut dengan kejadian sebelumnya. Aku yang begitu mengupayakan, dengan teganya dia lenyapkan. Aku yang dengan susah payah menggenapkan, dengan mudahnya dia menunggalkan. Bukankah menyakitkan?

Kepada rasa yang belum (pernah) bertemu. Bersabarlah, mungkin nanti atau setelah nanti akan dipertemukan dengan cara yang tak terduga, dengan cara yang tak disangka-sangka. Detik ini, cukup terus memperbaiki diri. Percayalah, tak ada yang tak mungkin untuk Tuhan.

Hai, Tuan.
Semoga segera dipertemukan.
Aku menunggu perjumpaan nyata.


Jumat, 05 Januari 2018

Mengapa Tidak Aku Saja Yang Menyakitimu?

Jujur saja semenjak kepergian mu hari itu aku mulai sedikit lebih malas dari biasanya. Aku malas menjalani hari-hariku yang begitu-begitu saja. Sepanjang harikuu telah kulewati tanpa ada langkahmu mengiringi suara sepatuku. Seluruh napasku telah terbuang percuma sebab tak ada kamu lagi di dekatku. Aku harus berjalan jauh sendirian tanpa arah. Tanpa ada kamu menguatkan tubuhku ketika aku mulai lemah.

Hari-hari memilukan itu membuatku begitu tak berdaya. Aku lemah tanpa ada kamu di dalam dada. Ketika kamu memilih untuk tidak lagi ada. Segala upayaku membahagiakanmu seakan tiba-tiba hancur. Rencana ke depan yang sudah semenjak dulu kita atur. Tiba-tiba harus berubah tak teratur. Apa mencintaimu harus membuatku menjadi seperti ini? Aku linglung tiap kali aku mencoba berdiri. Tak kuasa menahan segala sepi yang membenamkan ke dalam hati.

Sungguh, aku begitu malas jika tanpa kamu harus menjalani hidup. Perjalanan panjang ku tanpa kamu hanyalah langkah-langkah sunyi yang kulewati dengan cahaya redup. Aku harus berulang kali terpeleset jatuh. Agar bisa sampai ke titik terjauh. Titik ketika aku akan menemukanmu kembali. Meski tujuanmu menungguku di sana hanya untuk kembali meninggalkanku pergi. Aku seseorang yang sunyi tanpa ada kamu yang menggenapi.

Kekasih. Tidakkah kamu ingin menyadari bahwa menyakiti seseorang yang begitu mencintai kamu hanyalah kebahagiaan untukmu saja? Aku di sini harus terluka teramat dalam. Malam-malam panjangku menjelang pejam. Andai bisa memilih, mengapa tidak aku saja yang menyakitimu dan meninggalkanmu pergi saat kamu sedang cinta-cintanya? Mengapa aku tidak memilih mencintai pria lain yang lebih baik dari kamu? Nyatanya Akau menyadari, bahwa aku tak pernah memiliki kemampuan lebih melakukan itu.

Luka - Eka Lesmana


Kau Tidak Pernah Benar-benar Pergi

Kepada yang sudah pergi.

Aku sungguh ingin kau mengetahui beberapa hal penting ini. Anggaplah, ini adalah sebuah pengakuan paling jujur yang kubuat, setelah tak lagi ada kau di sampingku. Bukan, ini bukan bertujuan agar aku jadi orang yang akan kau kasihanilah. Namun agar kau tahu, bahwa kehilangan seorang yang begitu dicintai, adalah luar biasa sulit. Kelak, pada siapa pun nanti, kumohon jangan seenaknya datang, lalu pergi.

Tahukah kau, bahwa bagiku yang pergi hanya sosokmu. Namun kenangan dalam kepalaku, tidak. Yang kuhapus hanya pesan-pesan dan nomor teleponmu. Namun, inginku mendengar suaramu, tidak.

Apakah di sini aku sudah nampak begitu memprihatinkan?

Pernahkah terpikir sejenak saja dalam benakmu, bahwa bagiku, yang hilang dari rumahku hanya bayanganmu. Namun, undangan dari dalam hati untuk selalu melihat sosokmu, tidak. Sesekali, aku masih mencuru waktu untuk melihat foto-fotonya.

Apakah dengan ini, kau sadar betapa kau kurindukan?

Bagiku, yang hilang dari tempat favorit kita, hanya sosokmu saja. Hanya ragamu saja. Karena aku masih selalu setia mengunjunginya, sekadar mengingat-ingat kembali apa yang sudah kita lalui di sini. Begitu banyak. Begitu banyak, dan aku tak rela melupakannya begitu saja.

Pada akhirnya, aku sampai pada sebuah kesimpulan. Barangkali, yang begitu cinta, hanya aku. Sedangkan kau, tidak.

Tia Setiawati – Perempuan Penggenggam Rindu.


Rabu, 03 Januari 2018

Kamu Adalah Pengkhianat Yang Tidak Ingin Lagi Aku Ingat

Ada satu hal yang tidak pernah bisa aku ikhlaskan ketika kamu tiba-tiba meniadakan. Yaitu kata-kata manis mu dulu, yang selalu membekas di ingatanku. Katamu, jika kelak masing-masing kita memang harus saling menjauhi, kamu tidak akan lagi mencari seorang pengganti. Katamu, kamu akan tetap sendiri sampai akhir nanti. Sebab, kamu merasa tidak ada yang sempurna dari cinta yang sementara ini. Sampai tiba saatnya ada kata 'halal' nanti.

Namun apa nyatanya. Kamu tiba-tiba memiliki seorang kekasih. Kamu berkhianat pada dirimu sendiri. Kamu mengingkari semua janji-janji yang pernah sama-sama kita sepakati. Apa kamu lupa pada janjimu sendiri? Apa aku harus berulang kali mengingatkanmu lagi. Semua sudah percuma sebab kamu bukan lagi seseorang yang bisa ku percaya. Kamu adalah pengkhianat yang tidak ingin lagi aku ingat.

Jujur, aku tidak apa-apa jikalau memang kamu sudah bosan dengan aku. Aku tidak apa-apa jikalau memang keadaan memaksamu menjauh. Jikalau kamu memang ingin fokus pada tujuan yang hendak kamu capai. Aku akan baik-baik saja meskipun harus berjuang sendiri. Aku akan tetap bersabar menunggumu pulang nanti sebagai seseorang yang selalu kuingini di dalam hati. Namun, jikalau semua sudah terjadi seperti ini, kamu hanya memaksakan hatiku untuk menjadi seorang pembenci.

Memang, sampai saat ini aku tidak pernah memintamu menjelaskan perihal janjimu itu kepadaku. Mungkin memang kamu sudah lupa dengan segala hal yang pernah kamu ucapkan. Atau, kamu hanya pura-pura lupa saja. Bagiku, itu semua sudah tidak mengapa. Aku akan tetap memaafkanmu, bahkan ketika kamu tidak meminta maaf sekali pun. Semoga hidupmu dengan kekasih barumu itu akan baik-baik saja, berjalan apa adanya. Semoga kamu tidak pernah dikecewakan dengan cara yang sama, seperti caramu menyakitiku dengan segala luka.

Luka - Eki Lesmana


Kamu Memilih Berhenti Berjuang

Aku telah memahami banyak hal dari apa-apa yang sudah kita lalui. Segala perjalanan panjang yang telah susah payah kita lewati. Bahwa membangun cinta pada usia kita, bukan perihal aku dan kamu saja. Bukan soal bagaimana cara terus menerus berjalan berdampingan. Namun, tentang bagaimana dan menjadi apa kekasihnya di masa depan. Aku tahu bahwa semua itu perlu. Sebab, sebuah kepastian tidak perlu lagi ditunggu. Aku yang terus berjuang mati-matian demi kamu. Dan, kamu yang tetap saja resah menunggu ketidakpastian dari aku.

Maafkan aku apabila selalu membuatmu resah dan gelisah. Segala hal yang kuperjuangkan hanya agar kamu segera bahagia. Tidak ada maksud untuk membuatmu menungguku dengan sia-sia. Jikalau memang kamu mulai meragukan aku dengan segala rencana yang telah aku tata. Aku paham, bahwa bagimu aku memang bukan seseorang yang bermakna. Aku bukan seseorang yang menjadi apa-apa. Aku hanya bermodal cinta saja, yang setia menjagamu dari malam hingga pagi buta.

Harusnya aku memahami dari dulu. Bahwa segala hal yang telah kuperjuangkan. Hanyalah kesia-siaan yang terhenti ditengah jalan. Kamu menyerah pada banyak hal yang telah kita cita-citakan. Lalu, memilih orang lain yang penuh dengan kepastian. Yang selalu bisa kamu bangga-banggakan disetiap keberadaan. Wajar memang. Sebab, aku hanyalah orang yang mencintaimu dengan banyak kegagalan. Namun, satu hal yang perlu kamu camkan. Aku tidak akan berhenti disini sebab kamu memilih pergi. Jika kelak kita dipertemukan kembali. Aku tidak ingin mengulang apapun yang telah kita lalui. Cukup sampai disini luka itu kita sudahi.

Sakit memang rasanya. Seseorang yang telah kujaga dari senja ke senja. Tiba-tiba memilih hilang entah kemana. Meninggalkan perih di dalam dada. Menanggalkan segala bahagia yang sama-sama kita jaga. Kamu seolah lupa, kita pernah sama-sama  terluka dan berjanji untuk saling menyembuhkan juga. Kini, bagiku kamu hanyalah seseorang yang mudah menyerah dan memilih berhenti berjuang. Memilih hati lain sebagai tempat singgah, lalu mengaku sebagai pemenang.

Luka - Eki Lesmana